Kamis, 13 Agustus 2009

Mangkir Bag. 2 (PHK Karena Kemangkiran)

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelasakan mengenai definisi mangkir. Mangkir sendiri merupakan tindakan indisipliner yang sering ditemui dalam hubungan kerja, dan jika dibiarkan terjadi tentunya perilaku ini cukup mempengaruhi produktivitas suatu perusahaan. Selain itu, perilaku mangkir yang dibiarkan tanpa adanya sanksi yang tegas dapat pula membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan kerja. Hal tersebut akan menjadi preseden buruk, dan mempengaruhi pekerja lainnya untuk melakukan hal yang serupa.

Sanksi atas mangkirnya pekerja telah disebutkan secara jelas di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK. Pasal 168 UUK menyebutkan :
  1. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
  2. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
  3. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ayat-ayat dalam pasal 168 sangat jelas menyebutkan cara memberikan sanksi dan hak yang harus diberikan terhadap pekerja yang mangkir. Namun, dalam kenyataannya banyak terjadi kesalahan membaca maksud dari pasal tersebut. Kesalahan membaca tentunya akan berakibat sanksi yang diberikan menjadi tidak efektif dan menimbulkan masalah baru.

Banyak pihak yang salah menafsirkan dan memahami ketentuan pasal tersebut. Penafsiran yang terjadi adalah bahwa jika pekerja mangkir dan telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut secara patut dan tertulis, maka pekerja “dianggap” telah mengundurkan diri dan karenanya dilakukan PHK terhadap pekerja yang bersangkutan. Yang menganggap pekerja mengundurkan diri adalah pihak yang salah membaca dan memahami ketentuan, padahal tidak ada disebutkan kata “dianggap” dalam ketentuan tersebut, yang berarti tidak boleh ditafsirkan bahwa pengunduran diri telah terjadi.

Coba simak sekali lagi ketentuan di atas, disebutkan bahwa pekerja yang mangkir dan telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Ketentuan tersebut menyebutkan “dikualifikasikan mengundurkan diri”, dan oleh karenanya pengusaha dapat melakukan PHK. Hal ini sangat berbeda dengan pekerja yang mengundurkan diri. Sesuai ketentuan pasal 162 UUK, pengunduran diri terjadi jika ada pengajuan tertulis dari pekerja.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, walaupun terdapat kata dikualifikasikan mengundurkan diri, namun sebelumnya terdapat kata “dapat diputus hubungan kerjanya”. Kata inilah yang merupakan kata kunci yang juga membedakan “mengundurkan diri” dengan “dikualifikasikan mengundurkan diri”. Jika mengundurkan diri, inisiatif untuk terjadinya PHK ada pada pekerja, yaitu dengan adanya pengajuan tertulis. Sedangkan jika dikualifikasikan mengundurkan diri, inisiatif terjadinya PHK ada pada pengusaha. Kata “dapat” memberikan hak kepada pengusaha untuk memilih melakukan atau tidak melakukan PHK. Mengapa demikian ?, karena sebenarnya secara terminologi kata “dapat” menimbulkan konsekuensi hukum dapat juga tidak di-PHK.

Kalimat yang terdapat pada ketentuan pasal 168 UUK haruslah ditafsirkan secara benar. Penafsiran yang benar dilakukan untuk mencari kebenaran yang hakiki dari maksud pembuat UU. Penafsiran tidak dibenarkan dilakukan dengan cara mengambil pemahaman untuk memudahkan tindakan. Pemahaman atas pekerja mangkir yang “dianggap” mengundurkan diri merupakan penafsiran yang memudahkan tindakan bagi pengusaha untuk mengakhiri hubungan kerja dengan pekerja, padahal tidak ada pengajuan secara tertulis dari pekerja untuk mengundurkan diri, tapi ditafsirkan pengunduran telah terjadi. Mengapa disebut untuk memudahkan tindakan ?, Pasal 154 butir b UUK menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja karena pekerja mengundurkan diri tidak membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selanjutnya disebut Lembaga PPHI. Hal inilah yang disebut memudahkan tindakan untuk melakukan PHK terhadap pekerja.

Pemahaman untuk memudahkan tindakan mungkin dilakukan oleh beberapa pihak karena adanya keinginan untuk memenuhi rasa keadilan bagi diri mereka sendiri. Berangkat dari tataran etika, memang sangat tidak etis bagi seorang pekerja melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati, termasuk mengenai waktu kerja di perusahaan., apalagi telah dilayangkan 2 (dua) kali surat panggilan kepada pekerja tersebut. Lantas buat apa bersusah payah melakukan PHK dengan cara mengajukan permohonan ke Lembaga PPHI, bukankah yang tidak mau bekerja adalah si pekerja sendiri ?, apalagi UUK menyebutkan “dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri” yang dapat ditafsirkan “pekerja dianggap telah mengundurkan diri”.

Lalu bagaimanakah cara memberikan sanksi terhadap pekerja yang mangkir dengan penafsiran yang sesuai ketentuan pasal 168 UUK ?. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan atau tidak melakukan PHK. Hal ini ditafsirkan dari adanya kata-kata “dapat diputus hubungan kerjanya” sebelum kata-kata dikualifikasikan mengundurkan diri. Kata “dapat” secara terminologi menimbulkan konsekuensi hukum dapat juga tidak diputus hubungan kerjanya. Jika pilihan pengusaha adalah melakukan PHK terhadap pekerja yang mangkir, maka PHK tersebut harus dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di mana PHK harus melalui proses penetapan oleh Lembaga PPHI. Permohonan penetapan PHK dilakukan dengan alasan PHK karena kemangkiran yang dikualifikasikan mengundurkan diri. Konsekuensi yang muncul selama proses tersebut dan selama belum ada penetapan/putusan PHK dari lembaga PPHI adalah hubungan kerja masih berlangsung dan pengusaha wajib membayarkan apa yang menjadi hak pekerja, kecuali yang bukan menjadi hak selama yang bersangkutan mangkir.

Kata-kata dikualifikasikan mengundurkan diri di atas bukan berarti pengunduran diri telah terjadi, karena tidak ada syarat pengunduran diri terpenuhi. Maksud adanya kata-kata tersebut adalah untuk memunculkan hak pekerja mangkir yang disamakan dengan orang yang mengundurkan diri sebagaimana tertuang dalam ayat (3) pasal 168 UUK. Jadi, pekerja yang mangkir tidak sama dengan pekerja yang mengundurkan diri, namun jika terjadi PHK atas pekerja yang mangkir, maka hak yang diberikan kepadanya adalah sama dengan pekerja yang mengundurkan diri, karena terhadap tindakan yang dilakukannya telah diklasifikasikan mengundurkan diri.

Sekian…semoga bermanfaat dan menjadi pencerahan.....

8 komentar:

  1. terima kasih infonya mas, selama ini ditempat saya bekerja, hal spt diatas dianggap "mengundurkan diri" secara otomatis...

    BalasHapus
  2. sama-sama, mudah2an bisa bermanfaat dan membantu

    BalasHapus
  3. mas, jangka waktu antara pemanggilan 1 dan pemanggilan 2 berapa lama?

    BalasHapus
  4. mas, staff baru kami di bulan 1 masuk 8 hari dan sisanya tidak masuk kerja lebih dari 5 hari tanpa ada keterangan, hari ke 6 kami membuat suat panggilan pertama, hari ke 7 dia datang dan menjelaskan sakit namun tidak ada surat dokter. dan tidak masuk lagi sampai bulan ke 2 ini. apakah yang harus kami lakukan setelah ini? dapatkah langsung mengeluarkan surat PHK?

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf atas slow responnya, krn sy lama gak memanage blog ini, utk konsultasi dan sebagainya mgkn bs dilakukan di web kantor kami di www.swandaru-prasetyo.com di bagian Contact Us

      Hapus
  5. Dear Bung Boedex,

    Saat ini saya sedang proses ke mediasi yg casenya mirip dengan artikel anda.

    Bedanya, kami sudah melakukan perundingan bipartit yg hasilnya tidak tercapai kesepakatan.

    Saya bersedia dipindahtugaskan dari lapangan yg waktu kerjanya 14 hari kerja - 14 hari field break ke kantor yang waktu kerjanya 5 hari kerja seminggu.

    Sesuai isi PK, saya sudah bersedia ditempatkan dimanapun, namun persoalannya tidak ditempatkan di tempat kerja yang SAMA waktu kerjanya sesuai yg ada dalam PK.

    Karena dalam risalah perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan terkait waktu kerja, maka saya tetap melaksanakan kewajiban saya seperti sebelumnya selama belasan tahun. Namun, pihak perusahaan mengkategorikan saya mangkir, karena tidak hadir di kantor, padalah dalam perundingan bipartit tidak tercapai kesepakatan.

    Bukankah seharusnya proses perundingan bipartit yang harus dilaksanakan sampai menunggu proses mediasi dan ke PHI, apabila segala upaya mufakat tidak tercapai kesepakatan?

    Bukankan PHK dengan rujukan pasal 168 mengharuskan penetapan LPPHI?

    Bagaimana kans di PHI?

    Demikian dan terima kasih.

    Salam,
    Barkah

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf atas slow responnya, krn sy lama gak memanage blog ini, utk konsultasi dan sebagainya mgkn bs dilakukan di web kantor kami di www.swandaru-prasetyo.com di bagian Contact Us

      Hapus
  6. Kalau surat pangilan 1 dan 2 itu salah alamat apakah masih bisa di batalkan atau phk nya tidak sah secara hikum . Terimakasih

    BalasHapus