Senin, 12 Maret 2012

ALAT BUKTI SURAT / TERTULIS

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan pada agenda pembuktian, yaitu berupa surat atau bukti tertulis. Menurut ketentuan yang berlaku, yang dapat ditemukan di dalam KUH Perdata maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung, yang intinya menyebutkan bahwa yang memiliki kekuatan pembuktian, diakui dan sah sebagai alat bukti tertulis adalah “aslinya”.

Hal tersebut dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

"Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan."

2. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3609 K/PDT/1985

"Surat bukti yang hanya berupa fotokopi dan tidak pernah ada surat aslinya, oleh karena mana surat bukti tersebut harus dikesampingkan"

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 701 K/Sip/1974 tertanggal 1 April 1974

"Karena Judex Factie mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri fotokopi-fotokopi yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua belah pihak, Judex Factie sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti -bukti yang tidak sah"

Dalam prakteknya yang diajukan oleh pihak yang berperkara di persidangan pengadilan adalah bukti surat / tertulis yang difoto kopi dengan dibubuhi meterai serta dilegalisasi di Kantor Pos, kemudian foto kopi tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dilegalisasi untuk selanjutnya diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim. Pada saat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim, foto kopi tersebut akan dicocokkan dengan aslinya untuk menentukan apakah foto kopi tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Dengan demikian, pada prinsipnya yang diakui sebagai alat bukti surat / tertulis yang sah adalah yang “asli

Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut di atas sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 1889 KUH Perdata sebagai berikut :

Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1e. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

2e. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karenajabatannya menyimpan akta asli (minut) dam berwenang untuk memberikan salinan salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

3e. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

4e. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Ketentuan pasal 1889 KUH Perdata tersebut di atas merupakan landasan hukum bagi Yurisprudensi mahkamah Agung sebagai berikut :

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3038 K/Sip/Pdt/1981 tertanggal 18 September 1986

Meskipun surat bukti hanya fotocopi namun hal ini tidak menyebabkan surat bukti tersebut tidak mempunyai kekuatan bukti sama sekali melainkan dianggap sebagai petunjuk”

Minggu, 11 Maret 2012

PEMBEBASAN TUGAS KOMISARIS PADA BUMN TERBUKA (PT Tbk.) OLEH KEMENTERIAN NEGARA BUMN

Beberapa waktu yang lalu sempat santer diberitakan oleh beberapa media elektronik mengenai surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan beberapa Komisaris di salah satu BUMN Terbuka (PT Tbk.). Namun, tampaknya ada yang patut dicermati dari pemberitaan tersebut, mengingat di satu sisi, judul dan isi pemberitaan yang ditulis oleh pewarta/jurnalis menimbulkan kesan bahwa “Kementerian Negara BUMN memberhentikan komisaris tersebut”, sementara di sisi lain, melalui kutipan keterangan tertulis pihak perusahaan (Sekretaris Perusahaan) dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa “Kementerian Negara BUMN membebastugaskan Komisaris tersebut dan meminta Dewan Komisaris untuk menunjuk pelaksana tugas Komisaris yang dibebastugaskan tersebut sampai dengan RUPS yang akan datang”.

Melalui hal tersebut, terlihat adanya 2 (dua) hal yang berbeda, di mana menurut pewarta/jurnalis keberadaan Surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan Komisaris tersebut berarti telah memberhentikan Komisaris tersebut sebagai Komisaris di BUMN tersebut, sementara pihak perusahaan menyatakan keberadaan Kementerian Negara BUMN hanya berimplikasi pada pembebasan tugas semata. Manakah yang benar dari kedua hal tersebut ?, apakah telah terjadi distorsi penyampaian infomasi dari pihak perusahaan kepada pewarta / jurnalis ?, atau apakah pewarta / jurnalis sengaja memilih kata yang demikian agar lebih menarik minat orang untuk membacanya ?.

Tampaknya hal tersebut sagat menarik untuk dibahas / dikaji dari aspek hukum untuk mengetahui implikasi Surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan Komisaris di BUMN Terbuka (PT Tbk.) tersebut, apakah berimplikasi terhadap pemberhentian Komisaris atau hanya sebatas pembebsan tugas semata. Untuk itu berikut adalah pembahasan / kajian dimaksud :


1. Kekuatan Mengikatnya Surat Kementerian Negara BUMN terhadap BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.)

Mengingat BUMN tersebut merupakan BUMN Terbuka (PT Tbk.), di mana terdapat pemegang saham lainnya selain Pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian BUMN), maka surat yang disampaikan oleh Kementerian Negara BUMN kepada BUMN tersebut adalah bukan selaku RUPS, dan untuk itu dapat dikatakan bahwa surat tersebut adalah sebagai bentuk kebijakan dari otoritas pengelola BUMN yang juga selaku pemegang saham yang mewakili pemerintah.


Jika mengacu pada Hukum Tata Negara, Surat Menteri tidak termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004). Pejabat yang mengeluarkan Kebijakan tidak memiliki kewenangan membuat peraturan umum. Surat yang memuat kebijakan tersebut adalah salah satu bentuk peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) yang merupakan wujud kewenangan bebas (freies ermessen) yang dikeluarkan oleh pejabat yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kebijakan tersebut dapat memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud di dalam pasal 7 ayat 4 UU 10/2004 yang menyebutkan :


Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi


Sesuai dengan hal tersebut di atas, sampai dengan saat ini tidak dapat ditemukan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan Kebijakan Menteri BUMN yang membebastugaskan Komisaris sebagaimana dimaksud di dalam suratnya, dengan demikian bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut di atas tidak mengikat bagi Perseroan. Hal tersebut berarti, meskipun dilakukan pembebasan tugas terhadap Komisaris tersebut, secara hukum Komisaris tersebut masih sebagai Komisaris BUMN yang bersangkutan, walaupun sudah tidak bertugas lagi.

Namun sebaliknya, kebijakan tersebut sepatutnya diikuti/dipatuhi oleh Komisaris yang bersangkutan mengingat mereka diusulkan oleh Pemegang Saham, yang dalam hal ini adalah Kementerian Negara BUMN selaku Pemegang Saham yang mewakili Pemerintah, walaupun secara hukum mereka masih berstatus sebagi Komisaris di BUMN tersebut


2. Maksud Surat Kementerian Negara BUMN, Khususnya Terkait Dengan Pembebasan Tugas Komisaris

Sebagaimana tersebut di atas, bahwa kebijakan pembebasan tugas Komisaris adalah tidak mengikat BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.), yang berarti bahwa Perseroan secara hukum harus masih mengakui bahwa Komisaris yang dibebas tugaskan tersebut adalah masih berstatus sebagai Komisaris meskipun sudah tidak bertugas lagi. Hal tersebut sepertinya sudah disadari oleh Kementerian Negara BUMN sebagaimana yang tergambar di dalam isi pemberitaan di beberapa media elektronik yang menyebutkan kata-kata “pembebasan tugas”, dan “sampai dengan keputusan RUPS yang akan datang”.


Melalui penyebutan hal tersebut, Kementerian Negara BUMN sepertinya menyadari bahwa kebijakan yang dikeluarkannya adalah dalam kapasitasnya selaku Pemegang Saham, bukan selaku RUPS, yang berarti hanya dapat melakukan pembebasan tugas anggota Dewan Komisaris, bukan pemberhentian anggota Dewan Komisaris. Konsekuensi hal tersebut adalah berarti Komisaris yang dibebastugaskan tersebut secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris, walaupun sudah tidak bertugas lagi. Hal ini sangat berbeda dengan BUMN yang belum Terbuka (PT Tbk.), di mana 100 % sahamnya dimiliki Pemerintah. Surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara BUMN kepada BUMN yang belum Terbuka tersebut dapat diartikan sebagai RUPS / Keputusan RUPS.


Menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris merupakan kewenangan RUPS, untuk itu dapat terlihat jelas mengapa di dalam Surat Kementerian Negara BUMN tersebut meminta kepada Dewan Komisaris untuk menunjuk pelaksana tugas Komisaris yang dibebastugaskan tersebut sampai dengan RUPS yang akan datang.


Kewenangan RUPS tersebut dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai UUPT) :


- Pasal 1 butir 4 jo. Pasal 75 ayat 1

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar


RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar


- Pasal 111 ayat 1

Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.

- Pasal 87 ayat 5

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.


3. Konsekuensi Pembebasan Tugas Komisaris Pada BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.)

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dengan pembebasan tugas Komisaris, maka secara hukum Komisaris tersebut tetap diakui Komisaris pada BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.). Terkait dengan hal tersebut, dan mengacu kepada prinsip-prinsip yang terdapat di dalam UUPT, di mana yang dimaksud dengan Komisaris adalah Dewan Komisaris secara kolegial, termasuk bahwa setiap keputusan Dewan Komisaris adalah keputusan Dewan Komisaris secara kolegial, maka terdapat beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan, yaitu :


- Bahwa meskipun sudah tidak bertugas, Komisaris yang dibebastugaskan tersebut tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya, karena secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris


- Bahwa karena keputusan Dewan Komisaris harus merupakan keputusan kolegial, maka setiap keputusan Dewan Komisaris harus tetap memerlukan persetujuan Komisaris yang telah tidak dibebaskan tugas tersebut.

Kesimpulan

Melalui penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa Surat Kementerian Negara BUMN hanya sebatas kebijakan yang tidak mengikat bagi BUMN yang Terbuka (PT Tbk.), sehingga surat tersebut hanya berimplikasi pada pembebasan tugas Komisaris yang bersangkutan, bukan pemberhentian.


2. Bahwa Surat Kementerian Negara BUMN hanya dimaksudkan untuk membebaskan tugas Komisaris yang bersangkutan, dan untuk itu pemberhentian Komisaris yang bersangkutan hanya dapat dilakukan melalui RUPS.


3. Bahwa konsekuensi dengan adanya pembebasan tugas Komisaris yang bersangkutan adalah : i) Komisaris yang dibebastugaskan tersebut tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya, karena secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris, dan ii) keputusan Dewan Komisaris pada BUMN yang Terbuka (PT Tbk.) tersebut harus tetap memerlukan persetujuan Komisaris yang telah dibebaskan tugas tersebut.

HUBUNGAN CASH FLOW NEGATIF DAN BANGKRUT

I. Pendahuluan

Sejak kemerdekaannya, Indonesia saat ini sedang menapak sebagai negara berkembang menuju negara maju. Salah satu ciri yang dapat dilihat dari negara yang sedang berkembang adalah semakin menggeliatnya roda perekonomian yang ditandai dengan berkembangnya industri di negara tersebut. Perkembangan industri tidak dapat dilepaskan dari keberadaan badan-badan usaha, di mana sangat dipengaruhi oleh semakin menjamurnya badan-badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, sebut saja UD, CV (Persekutuan Komanditer), Yayasan, Koperasi atau Perseroan Terbatas (“Perseroan”).


Untuk menjalankan usahanya, setiap badan usaha pasti membutuhkan modal. Sebut saja salah satunya Perseroan. Terkadang modal tidak hanya berasal dari internal Perseroan saja, namun bisa juga berasal dari pinjaman kepada pihak ketiga di luar Perseroan, baik berupa pinjaman tunai maupun pinjaman barang modal, yang tidak hanya dilakukan pada satu kreditur saja. Untuk memulai usahanya setidaknya Perseroan harus memiliki modal dasar sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta Rupiah) yang berasal dari para pemegang saham (vide pasal 32 Undang-Undang 40 tahun 2007 tentang Perseroan terbatas (“UUPT”)). Di samping modal dasar tersebut, sangat lazim jika Perseroan melakukan pinjaman untuk menambah modal kerja.


Sebagai badan hukum yang profit oriented, tentunya Perseroan didirikan untuk memperoleh keuntungan dari usaha atau bisnis yang dijalankan. Pemegang saham juga memiliki harapan yang sama dengan mengikutsertakan modalnya pada Perseroan tersebut. Namun, dalam perjalanannya setiap Perseroan belum tentu dapat berjalan dengan mulus, terkadang harus menghadapi hambatan atau permasalahan yang berakibat pada pasang-surutnya keuangan Perseroan. Dalam hal Perseroan memperoleh keuntungan, tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah, karena memang Perseroan berorientasi pada keuntungan. Namun apabila Perseroan mengalami kerugian, tentu akan berdampak sangat besar terhadap eksistensi Perseroan itu sendiri.


Salah satu dampak yang akan langsung terlihat dari kerugian Perseroan adalah terganggunya cash flow atau equity Perseroan tersebut. Dengan terganggunya cash flow Perseroan juga akan berdampak pada kemampuan Perseroan untuk memenuhi kebutuhan operasional usahanya termasuk kewajiban-kewajibannya dalam mengembalikan pinjaman terhadap pihak ketiga. Adanya hal tersebut akan membawa konsekuensi menurut hukum.


Bertolak pada hal tersebut di atas, terdapat hal yang perlu dikaji lebih dalam terkait dengan buruknya cash flow suatu perusahaan dihubungkan dengan kebangkrutan, di mana dalam tulisan ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang pernah diajukan, yaitu “Apakah Perseroan dengan cash flow negatif dapat dikatakan bangkrut ?”


II. PEMBAHASAN


A. Pengertian Bangkrut

Sebelum masuk kepada pembahasan tersebut di atas, untuk memberikan persepsi yang sama, ada baiknya apabila diketahui terlebih dahulu pengertian atau definisi dari kata “bangkrut”.


Bangkrut atau dalam bahasa inggris dikenal dengan bankrupt atau insolvent menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “menderita kerugian besar hingga jatuh” sedangkan kebangkrutan adalah “perihal (keadaan) bangkrut dari Perseroan karena tidak mampu membayar utang-utangnya dsb”. Sedangkan yang dimaksud dengan insolven adalah tidak memiliki cukup dana untuk melunasi utang


Menurut The Contemporary Law Dictionary, yang dimaksud dengan Bankrupt adalah sama dengan yang dimaksud dengan bankbreuk, yaitu kebangkrutan, pailit. Selanjutnya kembali dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bankruptcy adalah Kepailitan, prosedur hukum yang dipicu oleh ketidakmampuan membayar utang, sehingga dengan proses kepailitan ini debitor dibebaskan dari kewajiban membayar; pengadilan menyita harta milik debitor dan membagikan kepada pihak kreditor sesuai porsi tagihannya kepada debitor; Faillisment (Bld); involuntary ~ / prosedur kepailitan atas inisiatif pra kreditor untuk memaksa debitor menyatakan diri pailit secara hukum; voluntary ~ / proses kepailitan atas inisiatif debitor; bankroet, faillisment (Bld)


Menurut Baron’s Dictionary of Finance and Investment Terms, yang dimaksud dengan Bankruptcy adalah “state of insolvency of an individual or an organization – in other words, an inability to pay debts. Selanjutnya disebutkan juga bahwa terdapat 2 (dua) jenis legal bankruptcy menurut hukum Amerika, yaitu :


- Involuntary : when one or more creditors to have a debtor judged insolvent by a court

- Voluntary : when the debtor bring the petition

Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan pailit adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivitasnya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar hutang-hutangnya. Pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut sebagai bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”), Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tersebut. Untuk dapat dinyatakan pailit, terdapat syarat yuridis yang harus dipenuhi yaitu (vide pasal 2 UUK) :


1. Adanya hutang

2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo (tidak dibayar lunas) dan dapat ditagih

3. Adanya debitur

4. Adanya kreditur (lebih dari satu)

5. Permohonan pernyataan pailit (baik permohonan sendiri maupun kreditornya)

6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga


Berdasarkan definisi dan pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bangkrut memiliki arti terdapatnya suatu kondisi keuangan yang tidak sehat dari suatu Perseroan, baik karena kerugian atau sebagainya, yang mengakibatkan Perseroan tersebut tidak mampu membayar hutang-hutangnya (Insolven).


Sering orang berpendapat bahwa bangkrut dan pailit memiliki arti yang sama. Namun tidak demikian halnya, antara bangkrut dan pailit tidaklah sama. Bangkrut memiliki arti terdapat kondisi keuangan Perseroan yang tidak sehat yang mengakibatkan Perseroan tersebut tidak mampu membayar hutang-hutangnya. Atas bangkrutnya suatu Perseroan tersebut, kemudian dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan, baik atas permohonan Perseroan itu sendiri maupun kreditornya.


Sedangkan pailit merupakan pernyataan Pengadilan untuk melakukan sita umum atas kekayaan debitor pailit untuk pelunasan hutang kepada kreditor yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Pernyataan pailit tidak hanya dapat diberikan kepada Perseroan yang kondisi keuangannya tidak sehat sehingga tidak mampu membayar hutang-hutangnya (bangkrut), namun dapat juga dilakukan terhadap Perseroan yang kondisi keuangannya sehat, yaitu jika Perseroan tersebut memiliki satu hutang yang sudah jatuh tempo (tidak dibayar lunas) dan dapat ditagih serta terdapat permohonan pernyataan pailit. UUK tidak memberikan patokan batas minimal jumlah utang sebagai salah satu syarat pernyataan pailit. Akibatnya suatu Perseroan yang solven dapat dinyatakan pailit asalkan terdapat minimal dua kreditor dan salah satu utang tersebul sudah jatuh waktu dan dapat ditagih


B. Pengertian Cash Flow Negatif

Menurut sumber yang didapatkan Cash Flow Negatif adalah memiliki arti situation where the cash outflows during a period are higher than the cash inflows during the same period. Negative cash flow does not necessarily means loss, and may be due only to a mismatch of expenditure and income. Chronic mismatch, however, may indicate ineffective credit management, leakage of funds through fraud, or actual loss. Temporary mismatch is covered usually by arranging an overdraft facility.”[1]


Cash Flow Negatif adalah situasi di mana pembayaran (dana yang ke luar) selama jangka waktu tertentu melebihi arus kas masuk (dana yang masuk) pada periode yang sama. Cash Flow Negatif tidak selalu berarti kerugian dan mungkin karena hanya untuk mismatch pendapatan dan pengeluaran. Mismatch yang menahun/kronis, bagaimanapun, mengindikasikan pengelolaan kredit yang tidak efisien, kebocoran dana melalui penipuan atau kerugian aktual. Mismatch sementara biasanya ditutupi dengan fasilitas penarikan uang yang melebihi batas.


Dari definisi tersebut, diketahui bahwa Cash Flow Negatif tidak selalu berarti buruk, karena bisa saja hal tersebut terjadi karena tidak adanya kecocokan antara pengeluaran suatu Perseroan dengan penerimaan yang diterimanya pada periode yang sama. Hal tersebut bukan berarti bahwa Perseroan tersebut tidak profitable, hanya saja ketersediaan cash untuk menjalankan bisnisnya pada periode tersebut memang lebih sedikit atau tidak ada akibat tertundanya pembayaran yang seharusnya menjadi pemasukan dan keuntungan dari bisnis yang dijalankan.


Hal tersebut di atas sering disebut bahwa Profit ≠ Cash. Laba atau profit diperoleh dari penjualan produk dimana harga jual di atas biaya telah dikeluarkan untuk membuat produk tersebut. Sedangkan uang tunai atau cash diperoleh dari aliran uang yang masuk ke dalam brankas uang melampaui aliran uang yang dikeluarkan. Apabila aliran uang yang diterima lebih besar dari aliran uang yang dikeluarkan maka kita memiliki cash flow yang positif. Namun apabila sebaliknya, maka cash flow negatif yang didapatkan.


Berikut adalah contoh untuk mempermudah pemahaman hal tersebut. PT A menjual produk kesehatan sebesar Rp. 100 juta dengan keuntungan Rp. 30 juta pada PT B. Namun PT A baru bisa mencairkan uangnya dalam tempo 1 bulan. Dua minggu setelah produk tersebut dijual, pihak supplier menagih pembayaran sebesar Rp. 80 juta. Pertanyaannnya, mampukah PT A membayar tagihan tersebut ? Jawabannya, jika PT A tidak memiliki cadangan uang tunai, kemungkinan besar PT A tidak mampu membayar tagihannya. Sebab penjualan produk tersebut pada PT B belum mampu tertagih. Akibatnya, PT A harus mencari uang tambahan untuk menutupi tagihan tersebut.[2]


Dari penjelasan di atas, sangat jelas bahwa Cash Flow Negatif belum tentu berarti buruk, sepanjang suatu Perseroan masih profitable namun terdapat ketidakcocokan antara pengeluaran suatu Perseroan dengan penerimaan yang diterimanya pada periode yang sama akibat belum tertagih/cairnya penerimaan yang seharusnya diterima. Namun, sebagaimana definisi tersebut di atas, berbeda halnya apabila Cash Flow Negatif tersebut terjadi karena ketidakcocokan menahun/kronis antara pengeluaran dengan penerimaan. Hal tersebut merupakan Cash Flow Negatif yang buruk karena mengindikasikan adanya pengelolaan kredit yang tidak efisien, kebocoran dana melalui penipuan atau kerugian, dan sebagainya.


C. Hubungan Cash Flow Negatif dengan Bangkrut dan Pailit

Sebagaimana telah disebutkan, Cash Flow Negatif belum tentu berarti buruk. Dengan kondisi Cash Flow negatif tersebut, suatu Perseroan bisa saja mengalami kemacetan, tapi belum tentu kemacetan tersebut identik dengan keadaan bangkrut, apalagi jika dapat dibuktikan bahwa Perseroan tersebut masih profitable. Terjadinya Cash Flow Negatif tersebut bisa diakibatkan oleh penerimaan yang seharusnya diterima ternyata belum cair/tertagih.


Namun berbeda halnya jika Cash Flow Negatif terjadi karena ketidakcocokan antara pengeluaran dengan penerimaan yang menahun/kronis, yang mengindikasikan adanya pengelolaan kredit yang tidak efisien, kebocoran dana melalui penipuan atau kerugian. Ini adalah Cash Flow Negatif yang berarti buruk. Hal ini menunjukkan suatu Perseroan sudah tidak profitable lagi, apalagi kemudian ternyata Perseroan tersebut memiliki kewajiban pembayaran hutang yang cukup banyak, yang dengan kondisi keuangan seperti itu sudah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya tersebut.


Kondisi keuangan seperti itu merupakan kondisi keuangan yang sudah tidak sehat, karena terjadinya Cash Flow Negatif diakibatkan oleh pengelolaan Perseroan yang tidak baik yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada Perseroan. Dengan kondisi seperti itu dapat dipastikan bahwa Perseroan sudah tidak mampu lagi membayar hutang-hutangnya (insolven), inilah yang dapat dikatakan suatu Perseroan “bangkrut”.


Pada penjelasan tersebut memang belum jelas seberapa besar kerugian yang diderita suatu Perseroan agar dapat dikatakan bangkrut. Untuk itu kita dapat merujuk kepada ketentuan pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) disebutkan :


Bila nyata bagi para pengurus, bahwa telah diderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modal Perseroan, maka mereka berkewajiban untuk mengumumkannya dalam register yang diselenggarakan untuk itu pada kepaniteraan raad van justitie, dan demikian pula dalam surat kabar resmi.


Bila kerugian itu berjumlah tujuh puluh lima persen, maka Perseroan itu demi hukum bubar, dan para pengurus bertanggung jawab terhadap pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah mereka adakan setelah mereka tahu atau harus mereka tahu tentang kerugian itu. (KUHD 39, 45, 48.)”


Melalui ketentuan tersebut dikatakan bahwa apabila kerugian suatu Perseroan berjumlah tujuh puluh lima persen dari modalnya maka Perseroan itu demi hukum bubar. Menurut penafsiran kami, jika kondisi keuangan Perseroan sudah tidak sehat dengan Cash Flow Negatif akibat pengelolaan Perseroan yang tidak baik yang menimbulkan kerugian sampai dengan tujuh puluh lima persen dari modalnya serta Perseroan tersebut menjadi insolven, maka dapat dikatakan Perseroan tersebut secara teknis disebut bangkrut, atau dikenal orang banyak dengan sebutan “technically bankrupt”.


Mengapa dikatakan bangkrut secara teknis ?. Kondisi bangkrut yang demikian belumlah menimbulkan akibat hukum. Untuk menimbulkan akibat hukum, maka harus memenuhi persyaratan yuridis sebagaimana diatur di dalam pasal 2 UUK, yaitu :


1. Adanya hutang

2. Minimal satu hutang sudah jatuh tempo (tidak dibayar lunas) dan dapat ditagih

3. Adanya debitur

4. Adanya kreditur (lebih dari satu)

5. Permohonan pernyataan pailit (baik permohonan sendiri maupun kreditornya)

6. Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga


Setelah ada putusan pailit oleh pengadilan, maka suatu Perseroan dapat dikatakan bangkrut secara yuridis atau dikenal dengan sebutan “juridically bankrupt”. Dengan demikian yang dikatakan juridically bankrupt adalah apabila suatu Perseroan sudah dinyatakan pailit berdasarkan penilaian hakim dan putusan pengadilan. Di mana pernyataan pailit dapat dijatuhkan kepada Perseroan yang mengalami technically bankrupt atau kepada Perseroan yang masih sehat (solven). Hal ini disebabkan karena UUK tidak memberikan patokan batas minimal jumlah utang sebagai salah satu syarat pernyataan pailit, sehingga Perseroan yang solven dapat dinyatakan pailit asalkan terdapat minimal dua kreditor dan salah satu utang tersebul sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.


III. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh penjelasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :


1. Definisi bangkrut adalah terdapatnya suatu kondisi keuangan yang tidak sehat dari suatu Perseroan, baik karena kerugian atau sebagainya, yang mengakibatkan Perseroan tersebut tidak mampu membayar hutang-hutangnya (Insolven).

2. Perseroan Terbatas dengan Cash Flow Negatif belum tentu dapat dikatakan bangkrut. Dapat dikatakan bangkrut apabila Perseroan tersebut memiliki atau memenuhi hal-hal berikut :

- Cash Flow Negatif terjadi pada Perseroan tersebut terjadi karena ketidakcocokan antara pengeluaran dengan penerimaan yang menahun/kronis;

- Mengindikasikan adanya pengelolaan kredit yang tidak efisien, kebocoran dana melalui penipuan atau kerugian;

- Kerugian yang diderita sampai dengan tujuh puluh lima persen dari modalnya;

- Perseroan tersebut menjadi insolven.


Kondisi yang demikian pada umumnya dikenal dengan sebutan “technically bankrupt”.

3. Untuk dapat memiliki konsekuensi hukum atau dapat disebut dengan pailit (juridically bankrupt), maka harus memenuhi syarat yuridis sebagai berikut :

- Adanya hutang

- Minimal satu hutang sudah jatuh tempo (tidak dibayar lunas) dan dapat ditagih

- Adanya debitur

- Adanya kreditur (lebih dari satu)

- Permohonan pernyataan pailit (baik permohonan sendiri maupun kreditornya)

- Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga


4. Dengan tidak adanya patokan batas minimal jumlah utang sebagai salah satu syarat pernyataan pailit di dalam UUK, pailit dapat dijatuhkan kepada Perseroan yang mengalami technically bankrupt atau kepada Perseroan yang masih sehat (solven). Perseroan yang solven dapat dinyatakan pailit asalkan terdapat minimal dua kreditor dan salah satu utang tersebul sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Daftar Pustaka

1. Undang-Undang

  • Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie) S.1847-23.

  • Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Buku dan Lainnya

  • Abdurrachman, A, 1993, Ensiklopedia ekonomi, keuangan dan perdagangan, Jakarta : Pradnya Paramita

  • Basiang, Martin, 2009, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Indonesia : Red&White Publishing

  • Downes, John, Goodman, Jordan Elliot, 1995, Dictionary of Finance and Investment Terms, Fourth Edition, United States of America : Baron’s Educational Series, Inc.

  • Fahren, Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Dalam Perkara Kepailitan (Studi Terhadap Beberapa Putusan Kepailitan Menurut FalllissementsVerordening Dan UU No.4 Tahun 1998 Disertai Analisis Insolvensi Menurut UU, http://www.researchgate.net

  • Herprasetyo, Budi, 2008, Laba VS Cash, http://tipsbisnisuang.wordpress.com

  • http://www.businessdictionary.com

[1] http://www.businessdictionary.com

[2] http://tipsbisnisuang.wordpress.com