Rabu, 12 Agustus 2009

Sifat Perjanjian Pada Peraturan Perusahaan

Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, istilah hubungan industrial bukan hal yang asing lagi. Hubungan industrial itu sendiri memiliki arti suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. terbentuknya hubungan industrial memiliki beberapa tujuan yang diantaranya adalah untuk mewujudkan kenyamanan dan ketenangan kerja serta meningkatkan produktivitas pekerja/buruh maupun perusahaan. Terdapat beberapa strategi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan cara menetapkan beberapa sarana yang digunakan sebagai pendukung hubungan industrial. Salah satu sarana hubungan industrial dimaksud adalah Peraturan Perusahaan, selanjutnya disebut PP. Penegasan hal tersebut dapat ditemui pada pasal 103 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, yang menyatakan bahwa hubungan industrial salah satunya dilaksanakan melalui sarana PP.

Pengaturan mengenai PP dapat ditemui pada UUK dan Kepmenakertrans RI nomor 48 tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan PP serta Pembuatan dan Pendaftaran PKB. Menurut peraturan perundang-undangan dimaksud, PP adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut PP, antara lain peraturan kerja perusahaan, peraturan majikan, reglemen perusahaan, peraturan karyawan, atau peraturan kepegawaian, tergantung selera masing-masing perusahaan.

Pembuatan PP merupakan suatu kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. Namun kewajiban tersebut menjadi tidak berlaku apabila perusahaan telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Selanjutnya ditegaskan bahwa maksud dari klausul “kewajiban bagi pengusaha” adalah PP disusun dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah PP maupun perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana suatu PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial jika penyusunan dan pembuatannya hanya dilakukan secara sepihak oleh pengusaha ?, bukankah dalam pelaksanaan hubungan industrial harus bisa menjamin keadilan bagi para pihak di dalamnya ?.

Jika melihat proses pembuatan PP jelas akan terjadi ketimpangan ketentuan di dalamnya, di mana penetapan ketentuan merupakan otoritas penuh dari pengusaha. Walaupun dalam penyusunan PP, peraturan perundang-undangan mengisyaratkan agar pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan, namun hal tersebut terkesan hanya sebatas formalitas, karena bukanlah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha. Pengusaha, tentunya dapat dengan bebas menentukan aturan-aturan meskipun terdapat pembatasan bahwa ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang jelas, masih terdapat peluang bagi pengusaha untuk dapat menetapkan ketentuan yang tidak seimbang dan merugikan pekerja/buruh.

Dengan ketentuan tersebut, wajar kiranya bila banyak yang memandang dan meragukan PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial. Namun tidak demikian adanya, ada satu alasan yang menjadi dasar mengapa PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial, yaitu karena PP memiliki hubungan yang erat dengan perjanjian kerja, hubungan erat yang mana muncul karena adanya sifat perjanjian yang terdapat pada PP[1]. Sifat perjanjian tersebut dapat dilihat pada 2 hal :

1. Saat pengusaha dan pekerja/buruh membentuk perjanjian kerja.

2. Saat PP diubah di tengah masa berlakunya.

Pertama, saat pengusaha dan pekerja/buruh membentuk perjanjian kerja. Sifat perjanjian tersebut timbul apabila sebuah perusahaan menyelenggarakan suatu peraturan perusahaan, menurut undang-undang, pekerja/buruh harus menyetujuinya pada waktu membentuk perjanjian kerja. Banyak yang berpendapat peraturan perusahaan berdiri sendiri, terlepas dari perjanjian kerja. Pendapat tersebut muncul karena peraturan perusahaan disusun oleh pengusaha tanpa adanya campur tangan pekerja/buruh dalam menentukan isinya. Meskipun tanpa adanya campur tangan pekerja/buruh di dalam menentukan isi peraturan perusahaan, tetapi pekerja/buruh tetap dimintai persetujuan mengenai ketentuan peraturan perusahaan pada saat membentuk perjanjian kerja (ketentuan PP biasanya tertuang juga di dalam perjanjian kerja). Apabila pada saat membentuk perjanjian kerja pekerja/buruh tidak menyetujui hak dan kewajiban, syarat-syarat kerja, tata tertib, dan hal lainnya yang tertuang dalam perjanjian kerja dimaksud, sah saja jika pekerja/ buruh menolak perjanjian kerja tersebut. Jika pekerja/buruh tetap menerimanya, padahal diketahui atau patut diketahui terdapat hal-hal yang tidak seimbang dan patut, maka akan berakibat pada hubungan kerja yang tidak harmonis yang selanjutnya berimbas kepada hubungan industrial yang tidak harmonis pula.

Kedua, Sifat perjanjian PP dapat dilihat pada saat PP diubah di tengah masa berlakunya. Sebagaimana yang telah ditentukan bahwa masa berlaku PP paling lama adalah 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui apabila jangka waktu berlakunya telah habis. Namun, apabila terjadi perubahan PP sebelum jangka waktu berlakunya berakhir, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. Jika melihat ketentuan tersebut terlihat bahwa syarat kesepakatan/konsesus mutlak diperlukan dalam hal terjadi perubahan PP di tengah jangka waktu berlakunya

Jika diperhatikan, terdapat korelasi antara kedua hal di atas. Pemberlakuan PP atas diri seseorang diberikan pada saat pertama kali orang tersebut menyepakati perjanjian kerja dengan pengusaha, dan setelah PP tersebut diberlakukan, jika pengusaha ingin mengubahnya sebelum berakhirnya jangka waktu, harus juga dengan kesepakatan orang tersebut, karena di awal PP telah diberlakukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa sebenarnya PP memiliki sifat perjanjian, karena pemberlakuan dan perubahannya harus didasarkan pada kesepakatan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Di mana kesepakatan tersebut merupakan cerminan pemberlakuan asas konsesualisme dalam PP. Syarat kesepakatan para pihak dan asas konsesualisme dapat ditafsirkan pada pasal 1320 ayat (1) dan pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

Pasal 1320 ayat (1) :

“Sepakat mereka yang mengikatkan diri”

Pasal 1338 ayat (2) :

“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Idealnya yang harus terjadi adalah demikian, yaitu PP dapat menjadi salah satu sarana pendukung hubungan industrial. Namun realitanya, hal tersebut tidak terjadi. Hal ini dikarenakan kedudukan antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau calon pekerja/buruh tidak seimbang. Banyak orang yang membutuhkan pekerjaan sementara lapangan pekerjaan sangat sedikit. Inilah yang disebut dengan “tidak seimbang”. Dengan ketatnya persaingan, ketika seseorang mendapatkan pekerjaan dan dihadapkan pada perjanjian kerja, mau tidak mau yang bersangkutan harus menyepakatinya, walaupun ketentuan yang tertuang di dalamnya tidak seimbang dan merugikan pekerja/buruh. Hal tersebut juga berarti telah terjadi kesepakatan mengenai ketentuan PP yang kemungkinan besar aturan di dalamnya diciptakan oleh pengusaha untuk lebih memihak kepada dirinya.

Dengan demikian, melalui uraian di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan, meskipun pembentukan PP merupakan otoritas pengusaha, namun PP dapat disebut sebagai sarana pendukung hubungan industrial karena PP memiliki sifat perjanjian. Sebagai salah satu sarana pendukung hubungan industrial, PP diharapkan dapat menciptakan hubungan industrial yang harmonis, yaitu jika kedudukan antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau calon pekerja/buruh telah seimbang. Tetapi cita-cita tersebut tidak akan terwujud jikalau semua pihak yang terlibat di dalam hubungan industrial tidak segera menyadari dan mengambil tindakan nyata atas realita ketidakseimbangan kedudukan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau calon pekerja/buruh………..


[1] Van Der Ven, F.J.H.M, Pengantar Hukum Kerdja, Penerbitan Jajasan Kanisius, Jogjakarta, 1969, hal. 26.

1 komentar:

  1. Bisakan saya mendapatkan contoh atau templet peraturan perusahaan?

    BalasHapus