Kamis, 13 Agustus 2009

Mangkir Bag. 1 (Definisi)

Dalam setiap hubungan kerja, tentunya banyak ditemukan tindakan-tindakan indisipliner pekerja. Tindakan-tindakan indisipliner tersebut terkadang membuat pusing pemberi kerja (manajemen), terutama saat memikirkan langkah pembinaan yang salah satunya adalah pemberian sanksi yang tepat. Terkadang hal tersebut menjadi buah simalakama bagi manajemen. Di satu sisi jika dibiarkan, tindakan indisipliner salah seorang pekerja akan membawa preseden atau efek negatif terhadap pekerja lainnya, sedangkan di sisi lain, ketika akan mengambil tindakan/pemberian sanksi, sangat mungkin manajemen menemui kebingungan sanksi yang bagaimana yang tepat diberikan atau apakah langkah pemberian sanksi telah telah sesuai koridornya atau belum.

Salah satu tindakan indisipliner pekerja yang sangat sering ditemukan adalah tindakan mangkir. Lalu apakah yang dimaksud dengan mangkir ?. Selama ini mungkin banyak pihak yang telah mendefinisikan istilah mangkir, namun ada baiknya dalam tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai definisi mangkir.

Menurut opini penulis, mangkir dapat didefinisikan “tidak bekerjanya pekerja secara tidak sah dan dapat dipertanggungjawabkan.” Definisi tersebut dapat diperjelas dengan menjabarkan 3 (tiga) kata kunci yang sengaja dicetak dengan huruf tebal, yaitu :

a. Tidak bekerja

Tidak bekerja berarti pekerja tidak hadir atau berada di tempat kerja perusahaan (majikan) dan/atau melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan atau diperintahkan majikan.

b. Tidak sah

Tidak sah berarti tidak ada dasar atau legalitas yang menjadi alasan pembenar tidak masuk bekerjanya seorang pekerja. Dasar atau legalitas dapat saja berasal dari Peraturan Perundang-Undangan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pada beberapa perusahaan sangat lazim diatur dalam instrumen ketenagakerjaannya mengenai alasan diperbolehkannya seorang pekerja meninggalkan pekerjaannya/tidak masuk bekerja di luar yang telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan atau juga dalam beberapa kasus hal tersebut belum diatur namun terdapat kebijakan perusahaan yang memberikan toleransi atas tidak masuk pekerja.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara tegas mengenai alasan yang dibenarkan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaannya/tidak masuk bekerja, antara lain :

1) Karena berhalangan, seperti sakit, terdapat keluarga yang meninggal, dan sebagainya.

2) Karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, seperti melaksanakan tugas sebagai pengurus Serikat Pekerja, tugas negara, atau melaksanakan ibadah keagamaan.

3) Karena melaksanakan hak istirahat dan cuti, seperti istirahat di antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti tahunan, istirahat panjang, atau istirahat karena bersalin/melahirkan.

c. Tidak dapat dipertanggungjawabkan

Tidak dapat dipertanggungjawabkan dapat berarti tidak ada bukti pendukung atas alasan tidak masuk pekerja, baik alasan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Bukti pendukung haruslah berasal dari pihak yang berwenang untuk memberikannya.

Demikianlah definisi mangkir menurut penulis. Namun terdapat satu hal lagi yang perlu dicermati dari definisi di atas adalah maksud dari rangkaian kata “secara tidak sah dan dapat dipertanggungjawabkan”. Secara terminologi, kata “dan” pada rangkaian tersebut berarti rangkaian kata sebelum dan sesudah kata “dan” merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang berarti pula bahwa dua rangkaian kata yang dipisahkan kata “dan” merupakan syarat kumulatif. Jika tidak masuk bekerjanya seorang pekerja tidak mau disebut sebagai mangkir maka alasan tidak masuknya harus sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu syarat saja tidak terpenuhi dapat saja hal tersebut dikategorikan mangkir.

Sebagai contoh, seorang pekerja tidak masuk bekerja karena sakit namun yang bersangkutan tidak memberikan surat keterangan dokter yang menyatakan dirinya sakit. Dengan kondisi tersebut, apakah perusahaan dapat begitu saja percaya bahwa tidak masuknya pekerja karena benar-benar dirinya sakit ? tentu saja tidak, bahkan yang lebih buruk lagi dapat saja perusahaan menganggap yang bersangkutan mangkir.

Demikian pembahasan yang dapat diberikan...semoga bermanfaat....

12 komentar:

  1. pda kalimat terakhir,,"bahkan yg lbh buruk lg dpt saja perusahaan menganggap yg bersngkutan mangkir"
    apa mksd dari kata "menganggap mangkir"? apakah masalah seperti contoh di atas sudah bisa dikatakan mangkir kerja???

    BalasHapus
  2. Sebelumnya mohon maaf kalo agak telat memberikan respon comment Anda.

    Sedikit menanggapi.., UU sendiri telah memberikan perlindungan kepada pekerja, di antaranya adalah adanya aturan mengenai alasan-alasan yang dapat dibenarkan bagi pekerja untuk tidak masuk kerja (alasan yang sah), contohnya adalah karena sakit, bahkan dalam hal ini UU kembali menegaskan perlindungan atas upah pekerja yang sakit (vide pasal 93 ayat 2 a dan ayat 3 UU 13/2003.

    Namun, agar alasan sakit tersebut mendapatkan perlindungan, hal yang perlu diperhatikan adalah mengenai pertanggungjawabannya, yaitu berupa keterangan dokter/surat sakit, dan hal ini biasanya sangat lazim dicantumkan di dalam peraturan perusahaan atau PKB.

    Jika tidak disertai atau dapat dibuktikan oleh pekerja dengan surat dokter, tentunya dapat menjadikan alasan sakitnya pekerja tidak dapat dipertanggungjawabkan, yang berarti tidak masuknya pekerja adalah di luar alasan-alasan yang dibenarkan oleh UU, karena tidak memenuhi unsur "secara sah dan dapat dipertanggungjawabkan".

    Jika demikian, tanpa adanya surat dokter pengusaha telah memiliki alasan yang kuat untuk menganggap pekerja mangkir dan memprosesnya sesuai peraturan yang berlaku.

    Demikian tanggapan saya...ngomong2 saya boleh tahu ini dengan siapa dan di mana ? thanks..

    BalasHapus
  3. berarti apapun sakitnya hrs pake surat dokter kl gak mau dianggap mangkir..?,tapi kl sakitnya cuma pusing gimana om..?,sedangkan fasilitas kantor cuma dapet JPK jamsostek, rasanya koq kl berobat cuma krn pusing aja malah capek dingantrinya om, padahal kl cuma pusingkan istirahat 1 hr aja cukup..
    tks

    BalasHapus
  4. Kalo menurut saya normatifnya begitu, apapun sakitnya harus berdasarkan surat keterangan dokter. UU memberikan hak kepada pekerja untuk beristirahat jika sakit, yang merasakan sakit memang pekerja dan berhak mengklaim dirinyasakit. Namun pihak yang dipercaya dan memiliki otoritas secara umum untuk menyatakan seseorang sakit atau tidak adalah dokter, bukan yg lain.

    Namun demikian, ada beberapa perusahaan yang memberlakukan peraturan jika sakit 1 hari tidak perlu memberikan surat keterangan dokter, cukup dengan pemberitahuan saja kepada perusahaan/atasan. Dalam kondisi demikian, tentunya sakit satu hari tanpa surat keterangan dokter bukanlah mangkir karena tidak masuknya adalah sah dan tanpa adanya surat keterangan dokter merupakan hal yang dapat dipertanggungjawabkan karena peraturannya memang tidak mensyaratkan demikian.

    Namun sebaliknya, bagi perusahaan yang benar-benar menghitung efektifitas pekerjanya tidak akan memberikan toleransi seperti itu, tidak masuk walaupun hanya 1 hari harus dengan surat keterangan dokter, jika tidak sah-sah saja jika dikatakan mangkir

    BalasHapus
  5. klo cuma terlambat krn macet di jalan apa juga disebut mangkir?

    BalasHapus
  6. pengertian terlambat adalah tetap masuk kerja namun waktunya tidak sesuai dengan jam masuk kerja yang telah ditetapkan. Sedangkan mangkir adalah tidak masuk kerja tanpa keterangan. 2 hal tersebut adalah hal yang berbeda..

    BalasHapus
  7. ijin ikut dlm pembahasan..jika tidak masuk krja slama 16 hari berturut-turut..tp sudah kasih kabar ke atasannya..dan baru masuk pada hari ke 17..tiba2 perusahaan menganggap mangkir dan diputus phk mengundurkan diri..ketika akan buat form bukti ijin,,atasan tdk mau tanda tangan..padahal melalui telp(sms) dan sampai(ada saksi_yaitu rekan sekerja)..gmana menanggapinya

    BalasHapus
  8. sanksi terburuk dr tindakan mangkir itu apa ya?

    BalasHapus
  9. Penjelasan ini sudah sangat normatif dan jelas..Anonim..bacalah UU Ketenagakerjaan bila tidak dapat memahami penjabaran dari penjelasan2 diatas..

    BalasHapus
  10. Ini pengalaman pribadi. Saya di non job kan dan d suruh stand by di kantor selama jam karja tanpa melakukan apapun.karena saya di ponis pihak prusahaan melakukan pelanggaran menerima uang dari konsumen walaupun saya sudah punya bukti berupa surat pernyataan dari konsumen bahwa uang pemberian secara sukarela ucapan terima kasih. Dan ihkas memberikan. Tp nyatanya saya di ponis melakukan pelanggaran berat. Yg saya pertanyakan. Apakah yg di lakukan pihak prusahaan sudah benar. Karena sebelumny saya sudah di suruh mengundurkan diri. Tapi saya tidak bersedia. Dan akhirnya saya di posisi kan sebagai karyawan non job. Yg saya rasa hal ini adalah tindakan intetpensi secara tidak langusung karena saya tidak besedia mengundurkan diri

    BalasHapus
  11. Ini pengalaman pribadi. Saya di non job kan dan d suruh stand by di kantor selama jam karja tanpa melakukan apapun.karena saya di ponis pihak prusahaan melakukan pelanggaran menerima uang dari konsumen walaupun saya sudah punya bukti berupa surat pernyataan dari konsumen bahwa uang pemberian secara sukarela ucapan terima kasih. Dan ihkas memberikan. Tp nyatanya saya di ponis melakukan pelanggaran berat. Yg saya pertanyakan. Apakah yg di lakukan pihak prusahaan sudah benar. Karena sebelumny saya sudah di suruh mengundurkan diri. Tapi saya tidak bersedia. Dan akhirnya saya di posisi kan sebagai karyawan non job. Yg saya rasa hal ini adalah tindakan intetpensi secara tidak langusung karena saya tidak besedia mengundurkan diri

    BalasHapus
  12. maaf ikut gabung meskipun sangat terlambat memang sy baru buka-buka ketemu blok ini , menurut pengalaman di tempat kami bekerja maka pada unit unit yang bersinggungan langsung dengan mitra ( misalnya unit pemasaran) sudah ada briefing atau arahan saat apa dan bagaimana kita boleh menerima atau menolak uang pemberian dari mitra tersebut artinya ada rambu-rambu yang harus dipatuhi petugas lapangan tersebut antara lain ( komulatip) tidak meminta, pekerjaan sudah selesai,perusahaan maupun mitra tidak mengalami kerugian dalam transaksi tersebut, bahkan petugas/karyawan tersebut "boleh" melaporkan kepada atasan telah menerima uang dari mitra (tentunya jumlah yang wajar)guna pertimbangan atasan dalam transaksi berikutnya yaitu menyampaikan perlu tidak perlunya pemberian uang tersebut kepada bawahannya.

    BalasHapus