Minggu, 15 April 2012

Perbedaan Istilah "Perusahaan Terbuka" dan "Perusahaan Publik"

Selama ini, dalam membuat analisa, kajian, pendapat atau bentuk tulisan lainnya, seringkali istilah “perusahaan terbuka” atau “perusahaan publik” digunakan. Sebenarnya saya sendiri masih ragu menuliskan hal tersebut dan tergelitik untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan makna antara kedua istilah tersebut. Namun, pada saat itu belum tergerak untuk mengetahui dan mempelajari lebih lanjut istilah-istilah yang seharusnya saya ketahui tersebut.

Belakangan, rasa keingintahuan tersebut muncul kembali oleh sebuah pertanyaan dari seorang rekan kerja yang menanyakan hal serupa. Atas hal tersebut, kemudian dilakukan penelusuran mengenai perbedaan kedua istilah dimaksud, baik melalui Peraturan Perundang-undangan maupun sumber lainnya yang terkait. Berikut adalah penjelasan mengenai hal tersebut.

Menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, baik mengenai Perseroan Terbatas dan Pasar Modal, tampak bahwa istilah Perusahaan Terbuka tidak sama dengan Perusahaan Publik, di mana terdapat pembedaan antara kedua istilah tersebut sebagaimana dimaksud pada pasal 1 butir 7 dan pasal 25 ayat 1 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), sebagai berikut :



Pasal 1 butir 7 UUPT

Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal


Pasal 25 ayat 1 UUPT

Perubahan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka mulai berlaku sejak tanggal:

a. efektif pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau

b. dilaksanakan penawaran umum, bagi Perseroan yang mengajukan pernyataan pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal

Melalui ketentuan tersebut terlihat bahwa Perseroan Terbuka terdiri dari 2 jenis, yaitu Perseroan Publik dan Perseroan yang melakukan penawaran umum saham sebagaimana dimaksud atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Lalu apakah yang dimaksud dengan Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Saham dan Perseroan Publik

1. Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Saham

Penjelasan mengenai “Perseroan yang melakukan penawaran umum saham” dapat ditemukan dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”), sebagai berikut :


Pasal 1 butir 15 UUPM

Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat



Pasal 1 butir 6

Emiten adalah Pihak Yang Melakukan Penawaran Umum



Dengan demikian yang dimaksud dengan Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Saham adalah emiten yang melakukan kegiatan penawaran efek untuk dijual kepada masyarakat.


2. Perseroan Publik

Pejelasan mengenai “Perseroan Publik” dapat ditemukan dalam ketentuan UUPT dan UUPM. Pasal 1 butir 8 UUPT jo. Pasal 1 butir 22 UUPM menyebutkan bahwa :


Pasal 1 butir 8 UUPT

Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal


Pasal 1 butir 22 UUPM

Perusahaan Publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang – kurangnya Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah



Dengan demikian yang dimaksud dengan Perseroan Publik adalah Perseroan yang sahamnya dimiliki minimal oleh 300 pemegang saham dan memiliki minimal modal disetor Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)


Baik bagi Perusahaan Publik maupun Perusahaan Yang Melakukan Penawaran Umum, keduanya diwajibkan untuk melaksanakan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :


Pasal 24 ayat 2 UUPT

Direksi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Red : Perusahaan Publik) wajib mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal



Pasal 1 butir 19 UUPM

Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Badan Pengawas Pasar Modal oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik



Pasal 70 ayat 1 UUPM

Yang dapat melakukan Penawaran Umum hanyalah Emiten yang telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam untuk menawarkan atau menjual Efek kepada masyarakat dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah efektif


Pasal 73 UUPM

Setiap Perusahaan Publik wajib menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam


Butir 2 Peraturan Bapepam Nomor IX.A.1 tentang Ketentuan Umum Pengajuan Pernyataan Pendaftaran

Pengajuan Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 wajib dilaksanakan oleh Emiten atau Perusahaan Publik

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah Perusahaan Terbuka tidak sama dengan istilah Perusahaan Publik. Perusahaan Terbuka dapat berupa Perusahaan Publik atau berupa Perusahaan Yang Melakukan Penawaran Umum Kepada Masyarakat (Emiten), yang keduanya diwajibkan untuk melakukan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam, khusus untuk Perusahaan Yang Melakukan Penawaran Umum, hanya dapat melakukan penawaran umum setelah Pernyataan Pendaftarannya dinyatakan efektif. Sedangkan Perusahaan Publik sudah pasti merupakan Perusahaan Terbuka, dan untuk itu diwajibkan melakukan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam.

Senin, 12 Maret 2012

ALAT BUKTI SURAT / TERTULIS

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan pada agenda pembuktian, yaitu berupa surat atau bukti tertulis. Menurut ketentuan yang berlaku, yang dapat ditemukan di dalam KUH Perdata maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung, yang intinya menyebutkan bahwa yang memiliki kekuatan pembuktian, diakui dan sah sebagai alat bukti tertulis adalah “aslinya”.

Hal tersebut dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

"Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan."

2. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3609 K/PDT/1985

"Surat bukti yang hanya berupa fotokopi dan tidak pernah ada surat aslinya, oleh karena mana surat bukti tersebut harus dikesampingkan"

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 701 K/Sip/1974 tertanggal 1 April 1974

"Karena Judex Factie mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri fotokopi-fotokopi yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua belah pihak, Judex Factie sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti -bukti yang tidak sah"

Dalam prakteknya yang diajukan oleh pihak yang berperkara di persidangan pengadilan adalah bukti surat / tertulis yang difoto kopi dengan dibubuhi meterai serta dilegalisasi di Kantor Pos, kemudian foto kopi tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dilegalisasi untuk selanjutnya diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim. Pada saat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim, foto kopi tersebut akan dicocokkan dengan aslinya untuk menentukan apakah foto kopi tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Dengan demikian, pada prinsipnya yang diakui sebagai alat bukti surat / tertulis yang sah adalah yang “asli

Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut di atas sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 1889 KUH Perdata sebagai berikut :

Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1e. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

2e. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karenajabatannya menyimpan akta asli (minut) dam berwenang untuk memberikan salinan salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

3e. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

4e. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Ketentuan pasal 1889 KUH Perdata tersebut di atas merupakan landasan hukum bagi Yurisprudensi mahkamah Agung sebagai berikut :

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3038 K/Sip/Pdt/1981 tertanggal 18 September 1986

Meskipun surat bukti hanya fotocopi namun hal ini tidak menyebabkan surat bukti tersebut tidak mempunyai kekuatan bukti sama sekali melainkan dianggap sebagai petunjuk”

Minggu, 11 Maret 2012

PEMBEBASAN TUGAS KOMISARIS PADA BUMN TERBUKA (PT Tbk.) OLEH KEMENTERIAN NEGARA BUMN

Beberapa waktu yang lalu sempat santer diberitakan oleh beberapa media elektronik mengenai surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan beberapa Komisaris di salah satu BUMN Terbuka (PT Tbk.). Namun, tampaknya ada yang patut dicermati dari pemberitaan tersebut, mengingat di satu sisi, judul dan isi pemberitaan yang ditulis oleh pewarta/jurnalis menimbulkan kesan bahwa “Kementerian Negara BUMN memberhentikan komisaris tersebut”, sementara di sisi lain, melalui kutipan keterangan tertulis pihak perusahaan (Sekretaris Perusahaan) dalam pemberitaan tersebut disebutkan bahwa “Kementerian Negara BUMN membebastugaskan Komisaris tersebut dan meminta Dewan Komisaris untuk menunjuk pelaksana tugas Komisaris yang dibebastugaskan tersebut sampai dengan RUPS yang akan datang”.

Melalui hal tersebut, terlihat adanya 2 (dua) hal yang berbeda, di mana menurut pewarta/jurnalis keberadaan Surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan Komisaris tersebut berarti telah memberhentikan Komisaris tersebut sebagai Komisaris di BUMN tersebut, sementara pihak perusahaan menyatakan keberadaan Kementerian Negara BUMN hanya berimplikasi pada pembebasan tugas semata. Manakah yang benar dari kedua hal tersebut ?, apakah telah terjadi distorsi penyampaian infomasi dari pihak perusahaan kepada pewarta / jurnalis ?, atau apakah pewarta / jurnalis sengaja memilih kata yang demikian agar lebih menarik minat orang untuk membacanya ?.

Tampaknya hal tersebut sagat menarik untuk dibahas / dikaji dari aspek hukum untuk mengetahui implikasi Surat Kementerian Negara BUMN yang membebastugaskan Komisaris di BUMN Terbuka (PT Tbk.) tersebut, apakah berimplikasi terhadap pemberhentian Komisaris atau hanya sebatas pembebsan tugas semata. Untuk itu berikut adalah pembahasan / kajian dimaksud :


1. Kekuatan Mengikatnya Surat Kementerian Negara BUMN terhadap BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.)

Mengingat BUMN tersebut merupakan BUMN Terbuka (PT Tbk.), di mana terdapat pemegang saham lainnya selain Pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian BUMN), maka surat yang disampaikan oleh Kementerian Negara BUMN kepada BUMN tersebut adalah bukan selaku RUPS, dan untuk itu dapat dikatakan bahwa surat tersebut adalah sebagai bentuk kebijakan dari otoritas pengelola BUMN yang juga selaku pemegang saham yang mewakili pemerintah.


Jika mengacu pada Hukum Tata Negara, Surat Menteri tidak termasuk dalam jenis Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004). Pejabat yang mengeluarkan Kebijakan tidak memiliki kewenangan membuat peraturan umum. Surat yang memuat kebijakan tersebut adalah salah satu bentuk peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) yang merupakan wujud kewenangan bebas (freies ermessen) yang dikeluarkan oleh pejabat yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Kebijakan tersebut dapat memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud di dalam pasal 7 ayat 4 UU 10/2004 yang menyebutkan :


Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi


Sesuai dengan hal tersebut di atas, sampai dengan saat ini tidak dapat ditemukan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang terkait dengan Kebijakan Menteri BUMN yang membebastugaskan Komisaris sebagaimana dimaksud di dalam suratnya, dengan demikian bahwa Kebijakan Menteri BUMN tersebut di atas tidak mengikat bagi Perseroan. Hal tersebut berarti, meskipun dilakukan pembebasan tugas terhadap Komisaris tersebut, secara hukum Komisaris tersebut masih sebagai Komisaris BUMN yang bersangkutan, walaupun sudah tidak bertugas lagi.

Namun sebaliknya, kebijakan tersebut sepatutnya diikuti/dipatuhi oleh Komisaris yang bersangkutan mengingat mereka diusulkan oleh Pemegang Saham, yang dalam hal ini adalah Kementerian Negara BUMN selaku Pemegang Saham yang mewakili Pemerintah, walaupun secara hukum mereka masih berstatus sebagi Komisaris di BUMN tersebut


2. Maksud Surat Kementerian Negara BUMN, Khususnya Terkait Dengan Pembebasan Tugas Komisaris

Sebagaimana tersebut di atas, bahwa kebijakan pembebasan tugas Komisaris adalah tidak mengikat BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.), yang berarti bahwa Perseroan secara hukum harus masih mengakui bahwa Komisaris yang dibebas tugaskan tersebut adalah masih berstatus sebagai Komisaris meskipun sudah tidak bertugas lagi. Hal tersebut sepertinya sudah disadari oleh Kementerian Negara BUMN sebagaimana yang tergambar di dalam isi pemberitaan di beberapa media elektronik yang menyebutkan kata-kata “pembebasan tugas”, dan “sampai dengan keputusan RUPS yang akan datang”.


Melalui penyebutan hal tersebut, Kementerian Negara BUMN sepertinya menyadari bahwa kebijakan yang dikeluarkannya adalah dalam kapasitasnya selaku Pemegang Saham, bukan selaku RUPS, yang berarti hanya dapat melakukan pembebasan tugas anggota Dewan Komisaris, bukan pemberhentian anggota Dewan Komisaris. Konsekuensi hal tersebut adalah berarti Komisaris yang dibebastugaskan tersebut secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris, walaupun sudah tidak bertugas lagi. Hal ini sangat berbeda dengan BUMN yang belum Terbuka (PT Tbk.), di mana 100 % sahamnya dimiliki Pemerintah. Surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara BUMN kepada BUMN yang belum Terbuka tersebut dapat diartikan sebagai RUPS / Keputusan RUPS.


Menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, pengangkatan dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris merupakan kewenangan RUPS, untuk itu dapat terlihat jelas mengapa di dalam Surat Kementerian Negara BUMN tersebut meminta kepada Dewan Komisaris untuk menunjuk pelaksana tugas Komisaris yang dibebastugaskan tersebut sampai dengan RUPS yang akan datang.


Kewenangan RUPS tersebut dapat ditemukan pada ketentuan-ketentuan Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut sebagai UUPT) :


- Pasal 1 butir 4 jo. Pasal 75 ayat 1

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar


RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar


- Pasal 111 ayat 1

Anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS.

- Pasal 87 ayat 5

Keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris juga menetapkan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian tersebut.


3. Konsekuensi Pembebasan Tugas Komisaris Pada BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.)

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dengan pembebasan tugas Komisaris, maka secara hukum Komisaris tersebut tetap diakui Komisaris pada BUMN Terbuka/Perseroan (PT Tbk.). Terkait dengan hal tersebut, dan mengacu kepada prinsip-prinsip yang terdapat di dalam UUPT, di mana yang dimaksud dengan Komisaris adalah Dewan Komisaris secara kolegial, termasuk bahwa setiap keputusan Dewan Komisaris adalah keputusan Dewan Komisaris secara kolegial, maka terdapat beberapa konsekuensi yang harus diperhatikan, yaitu :


- Bahwa meskipun sudah tidak bertugas, Komisaris yang dibebastugaskan tersebut tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya, karena secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris


- Bahwa karena keputusan Dewan Komisaris harus merupakan keputusan kolegial, maka setiap keputusan Dewan Komisaris harus tetap memerlukan persetujuan Komisaris yang telah tidak dibebaskan tugas tersebut.

Kesimpulan

Melalui penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Bahwa Surat Kementerian Negara BUMN hanya sebatas kebijakan yang tidak mengikat bagi BUMN yang Terbuka (PT Tbk.), sehingga surat tersebut hanya berimplikasi pada pembebasan tugas Komisaris yang bersangkutan, bukan pemberhentian.


2. Bahwa Surat Kementerian Negara BUMN hanya dimaksudkan untuk membebaskan tugas Komisaris yang bersangkutan, dan untuk itu pemberhentian Komisaris yang bersangkutan hanya dapat dilakukan melalui RUPS.


3. Bahwa konsekuensi dengan adanya pembebasan tugas Komisaris yang bersangkutan adalah : i) Komisaris yang dibebastugaskan tersebut tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya, karena secara hukum masih berstatus sebagai Komisaris, dan ii) keputusan Dewan Komisaris pada BUMN yang Terbuka (PT Tbk.) tersebut harus tetap memerlukan persetujuan Komisaris yang telah dibebaskan tugas tersebut.