Senin, 12 Maret 2012

ALAT BUKTI SURAT / TERTULIS

Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal adanya salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan pada agenda pembuktian, yaitu berupa surat atau bukti tertulis. Menurut ketentuan yang berlaku, yang dapat ditemukan di dalam KUH Perdata maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung, yang intinya menyebutkan bahwa yang memiliki kekuatan pembuktian, diakui dan sah sebagai alat bukti tertulis adalah “aslinya”.

Hal tersebut dapat ditemukan di dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

"Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan."

2. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 3609 K/PDT/1985

"Surat bukti yang hanya berupa fotokopi dan tidak pernah ada surat aslinya, oleh karena mana surat bukti tersebut harus dikesampingkan"

3. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 701 K/Sip/1974 tertanggal 1 April 1974

"Karena Judex Factie mendasarkan putusannya melulu atas surat-surat bukti yang terdiri fotokopi-fotokopi yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansial masih dipertengkarkan oleh kedua belah pihak, Judex Factie sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti -bukti yang tidak sah"

Dalam prakteknya yang diajukan oleh pihak yang berperkara di persidangan pengadilan adalah bukti surat / tertulis yang difoto kopi dengan dibubuhi meterai serta dilegalisasi di Kantor Pos, kemudian foto kopi tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan untuk dilegalisasi untuk selanjutnya diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim. Pada saat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim, foto kopi tersebut akan dicocokkan dengan aslinya untuk menentukan apakah foto kopi tersebut dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Dengan demikian, pada prinsipnya yang diakui sebagai alat bukti surat / tertulis yang sah adalah yang “asli

Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut di atas sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 1889 KUH Perdata sebagai berikut :

Bila tanda alas hak yang asli yang sudah tidak ada lagi, maka salinannya memberikan bukti, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1e. salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;

2e. salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karenajabatannya menyimpan akta asli (minut) dam berwenang untuk memberikan salinan salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;

3e. bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;

4e. salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Ketentuan pasal 1889 KUH Perdata tersebut di atas merupakan landasan hukum bagi Yurisprudensi mahkamah Agung sebagai berikut :

Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI No. 3038 K/Sip/Pdt/1981 tertanggal 18 September 1986

Meskipun surat bukti hanya fotocopi namun hal ini tidak menyebabkan surat bukti tersebut tidak mempunyai kekuatan bukti sama sekali melainkan dianggap sebagai petunjuk”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar