Kamis, 01 Oktober 2009

Tentang Hubungan Kerja*

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.


Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa terdapat 3 (tiga) unsur penentu adanya hubungan kerja, yaitu:
1. Pekerjaan
Di dalam hubungan kerja harus ada pekerjaan tertentu sesuai perjanjian, karena dengan adanya pekerjaan suatu hubungan dinamakan hubungan kerja.
2. Upah
Hak dan kewajiban tidak dapat dilepaskan dari hubungan kerja dan harus dilaksanakan secara berimbang di antara kedua belah pihak. Dalam hubungan kerja pengusaha berkewajiban memberikan upah kepada pekerja dan secara otomatis pekerja berhak atas upah tersebut, karena upah merupakan salah satu unsur pokok yang menandai adanya hubungan kerja.
3. Perintah
Di dalam hubungan kerja unsur perintah juga merupakan salah satu unsur pokok. Adanya unsur perintah menunjukkan bahwa salah satu pihak berhak untuk memberikan perintah dan pihak yang lain berkewajiban melaksanakan perintah tersebut.


Melalui pengertian hubungan kerja juga dapat diketahui bahwa yang menjadi dasar terbentuknya hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja menurut pasal 1 angka 14 UUK adalah perjanjian antara tenaga kerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Terdapat dua pihak di dalam hubungan kerja, yaitu pengusaha dan pekerja. Kedua pihak tersebut melakukan suatu perjanjian kerja, yaitu perjanjian tentang pekerjaan, di mana selanjutnya terjadi suatu hubungan yang diperatas. Pengusaha sebagai pemberi kerja memimpin dan memberikan perintah kepada pekerja, sebaliknya pekerja harus tunduk dan berada di bawah perintah pengusaha. Konsekuensi adanya pekerjaan tersebut adalah pengusaha wajib memberikan upah kepada pekerja atas pekerjaan yang telah dilakukan.


Menurut hukum perjanjian, pihak yang terikat dalam perjanjian adalah para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan asas kekuatan mengikat atau pacta sunt servanda. Pengertian asas kekuatan mengikat ini tersirat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebagai akibatnya, para pihak diwajibkan untuk mematuhi apa yang telah mereka perjanjikan.


Asas ini juga mewajibkan bagi pihak ketiga untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak, sebab melalui asas ini dapat disimpulkan sebuah larangan bagi pihak ketiga yang juga termasuk hakim di dalamnya untuk mencampuri isi perjanjian. Melalui asas tersebut dapat diketahui bahwa untuk perjanjian kerja, pihak yang memiliki hubungan kerja adalah para pihak pembuatnya, yaitu pengusaha dan pekerja.


Perjanjian kerja yang dibuat dan disepakati oleh para pihak pada dasarnya dapat menimbulkan hubungan kerja baik pada sektor formal maupun informal.
1. Hubungan kerja sektor formal adalah hubungan kerja yang terjalin antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang mengandung unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
2. Hubungan kerja sektor informal adalah hubungan kerja yang terjalin antara pekerja dan orang perseorangan atau beberapa orang yang melakukan usaha bersama yang tidak berbadan hukum atas dasar saling percaya dan sepakat dengan menerima upah dan/atau imbalan atau bagi hasil.


Para pelaku utama dalam perjanjian kerja adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja di dalam hukum ketenagakerjaan tidak sama dengan pengertian pada umumnya. Menurut hukum ketenagakerjaan, untuk dapat disebut sebagai pekerja harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
1. Harus ada perjanjian kerja.
2. Harus ada hubungan kerja yang formal.
3. Harus bekerja pada perusahaan.


Persyaratan-persyaratan di atas memiliki pengecualian, yaitu terdapat pihak-pihak yang tetap tidak dapat disebut pekerja walaupun telah memenuhi persyaratan-persyaratan di atas, antara lain :
1. Tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan secara tidak teratur dan secara organisasi tidak mempunyai fungsi pokok dalam perusahaan. Tenaga kerja ini disebut tenaga kerja nonorganik seperti dokter perusahaan, konsultan perusahaan, notaris perusahaan, dan sebagainya.

2. Tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan, namun tidak berkesinambungan baik yang disebabkan karena waktu maupun sifat pekerjaannya. Tenaga kerja ini disebut tenaga kerja yang bekerja insidental, seperti tenaga kerja bongkar muat.


Perjanjian kerja harus memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Di sisi lain, unsur-unsur penentu hubungan kerja adalah adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Bila melihat kepada unsur-unsur penentu adanya hubungan kerja tersebut, maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur tersebut merupakan bagian dari syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak atau dengan kata lain merupakan bagian dari apa yang harus dimuat di dalam perjanjian kerja. Dengan demikian, sangat jelas bahwa terdapat benang merah antara perjanjian kerja dengan hubungan kerja, yang menunjukkan bahwa perjanjian kerja merupakan awal terbentuknya hubungan kerja.


* Budhi Prasetyo








Daftar Pustaka

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


Shamad, Y., 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Jakarta : PT. Bina Sumberdaya Manusia.


Kertonegoro, S., 1999, HUBUNGAN INDUSTRIAL, Hubungan Antara Pengusaha dan Pekerja (Bipartit) dan Pemerintah (Tripartit), Jakarta : Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.


Djumialdji, F.X., 2005, Perjanjian Kerja, Jakarta : Sinar Grafika.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar