Aturan hukum secara materiil dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum publik dan hukum privat. Hartono Hadisoeprapto dalam bukunya juga telah membagi aturan hukum menurut isinya menjadi dua macam, yaitu :[1]
a.Hukum Publik (Public Law), yaitu aturan hukum yang mengatur kepentingan umum, atau dapat dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan perseorangan atau hubungan antara negara dengan alat perlengkapannya;
b.Hukum Privat (Privat Law), yaitu aturan hukum yang mengatur kepentingan perseorangan atau dapat dikatakan sebagai aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain.
Pada intinya yang menjadi perbedaan adalah masalah kepentingan. Bila mengatur kepentingan umum disebut sebagai hukum publik, sedangkan apabila mengatur kepentingan perseorangan disebut sebagai hukum privat.Perseorangan dapat diartikan sebagai subjek hukum. Subjek hukum adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang secara hakiki disebut sebagai “orang”. Menurut ilmu hukum, orang terdiri dari manusia dan badan hukum. Manusia merupakan subjek hukum dalam arti biologis, sedangkan badan hukum adalah subjek hukum dalam arti yuridis.
Melihat definisi di atas, hukum ketenagakerjaan di Indonesia dapat dikategorikan sebagai hukum publik. Pengkategorian tersebut tidak terlepas dari adanya campur tangan pemerintah terkait aspek-aspek ketenagakerjaan di Indonesia.Di mana yang awalnya hanya menyangkut hubungan hukum (hubungan kerja) antara pengusaha dengan pekerja (hukum privat), kemudian mendapatkan campur tangan pemerintah sebagai pihak ketiga (hukum publik). Sehingga saat ini dikenal istilah hubungan industrial, yang menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, tepatnya pada pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai suatu sistim hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Pemerintah berkepentingan dan berperan dalam menciptakan hubungan industrial yang aman, harmonis, dan dinamis. Secara umum, dalam hubungan industrial pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus menjalankan fungsi supervisi. Pasal 102 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Hubungan industrial yang aman, harmonis, dan dinamis pada dasarnya adalah untuk mewujudkan tujuan hubungan industral itu sendiri. Berdasarkan seminar Nasional Hubungan Industrial Pancasila tahun 1974 dikemukakan bahwa tujuan hubungan industrial adalah mengemban cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 di dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan, ketentraman, dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi, dan meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai dengan martabat manusia.[2]
Melalui penjelasan di atas terungkap bahwa hukum ketenagakerjaan indonesia tidak hanya menyangkut hubungan antara pengusaha dan pekerja belaka, namun lebih luas lagi karena menyangkut kepentingan umum (publik), bahkan tujuan negara. Dengan demikian, sangat jelas mengapa hukum ketenagakerjaan Indonesia dikategorikan sebagai hukum publik.
Pengkategorian hukum ketenagakerjaan sebagai hukum publik akibat adanya campur tangan pemerintah berkaitan erat dengan kaedah hukum ketenagakerjaan yang berkembang di Indonesia. Kaedah hukum ketenagakerjaan yang berkembang di Indonesia adalah “kaedah hukum heteronom”. Dalam kaedah hukum heteronom, ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan oleh pihak ketiga (pemerintah) di luar para pihak yang terikat dalam suatu hubungan kerja menjadi sumber hukum yang utama. Misalnya semua peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi berkembangnya kaedah hukum tersebut, yaitu :
a.Sistim Hukum Yang Dianut
Indonesia menganut sistim hukum Eropa Kontinental (Civil Law System). Dalam sistim ini, peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan sumber hukum yang utama. Begitu pula halnya yang terjadi dalam hukum ketenagakerjaan, di mana peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah harus menjadi sumber hukum yang utama, yang dijadikan acuan atau pedoman dalam pengaturan aspek ketenagakerjaan dalam hubungan kerja oleh pengusaha.
b.Model Hubungan Industrial Yang Dianut
Model hubungan industrial yang dianut adalah corporatist model, yaitu suatu model hubungan industrial di mana peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja.[3]
Hal penting yang dapat diambil melalui penjelasan ini adalah bahwa hukum ketenagakerjaan merupakan hukum publik. Hal tersebut dibuktikan dengan dikenalnya suatu sistim yang disebut hubungan industrial. Selain itu, dibuktikan juga dengan kaedah hukum yang berkembang di Indonesia. Implikasi hal tersebut adalah bagi pengusaha yang menjalankan kegiatan usahanya dalam pelaksanaan hubungan kerjanya dengan pekerja, aturan-aturan di dalam perusahaan harus tunduk atau mengacu kepadaperaturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah.
*Budhi Prasetyo
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hadisoeprapto, H., 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : Liberty.
Shamad, Y., 1995, Hubungan Industrial di Indonesia, Jakarta : PT. Bina Sumberdaya Manusia.
Uwiyono, A., 2007, Dinamika Ketentuan Hukum Tentang Pesangon, http://www.anggreklawfirm.co.id.
[1]Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, Edisi 4, 2006, Hal. 35-36.
[2]Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia, PT. Bina Sumber Daya Manusia, Jakarta, 1995,hal. 12-13.
Ketentuan mengenai PKWT, dapat ditemukan pada pasal 56 s.d 62 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK,jo. Kepmenakertrans Nomor 100 tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Dasar adanya hubungan kerja adalah perjanjian kerja. Perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu atau waktu tidak tertentu. Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu, atau yang lazim disebut dengan PKWT dapat dibuat dengan didasarkan pada hal-hal berikut, yaitu :
1.Jangka waktu;
2.Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Hal tersebut dapat ditemukan melalui definisi dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas. Menurut definisi yang ada PKWT adalah perjanjian kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.
PKWT juga mensyaratkan adanya formalitas tertentu, yaitu harus dibuat secara tertulis serta menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Jika dibuat tidak tertulis serta menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin dinyatakan sebagai Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Selain itu, PKWT juga tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja, dan apabila disyaratkan demikian maka syarat tersebut batal demi hukum.
PKWT tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1.PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) tahun.
a.Didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
b.Dibuat paling lama 3 (tiga) tahun.
c.Dapat dilakukan pembaharuan jika karena kondisi tertentu pekerjaan belum dapat diselesaikan setelah melebihi tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
d.Para pihak dapat mengatur lain ketentuan pada huruf c yang dituangkan dalam perjanjian.
2.PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman
a.Pelaksanaannya tergantung musim dan cuaca.
b.Hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
c.Pekerjaan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman dan hanya diberlakukan untuk tenaga kerja yang melakukan pekerjaan tambahan.
d.Jenis PKWT ini tidak dapat dilakukan pembaharuan.
3.PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.
a.PKWT ini dapat diberlakukan jika tenaga kerja melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
b.Dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
c.Tidak dapat dilakukan pembaharuan.
d.Hanya boleh diberlakukan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Dalam hal PKWT hendak diperpanjang, maka paling lama 7 (tujuh) hari sebelum berakhirnya pengusaha memberitahukan maksud tersebut secara tertulis kepada tenaga kerja. Selain itu, pembaharuan PKWT dapat dilakukan setelah melewati waktu tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian, dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali untuk paling lama 2 (dua) tahun.
Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tenaga kerja yang terikat dalam PKWT, apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 61 ayat (1) UUK, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah tenaga kerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Pasal 61 ayat (1) UUK menyebutkan, perjanjian kerja berakhir apabila :
1.Pekerja meninggal dunia;
2.Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
3.Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;atau
4.Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja.
* Budhi Prasetyo
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Kepmenakertrans Nomor 100 tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Pengertian outsourcing secara bahasa adalah out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dengan demikian dapat diartikan secara sederhana bahwa outsourcing adalah “mengambil sumber dari luar”. Bila dikaitkan dengan kerangka konseptual ketenagakerjaan, dapat diartikan bahwa dengan pelaksanaan outsourcing, suatu perusahaan menyerahkan segala sesuatu terkait aspek ketenagakerjaan tenaga kerja, baik sebelum, selama, dan sesudah masa kerja kepada pihak luar.
Penyerahan dimaksud berarti menyerahkan suatu aktivitas perusahaan, yaitu aktivitas pengelolaan tenaga kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM) kepada pihak luar. Mekanisme penyerahan tersebut harus dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Perusahaan yang menyerahkan sebagian aktivitasnya memiliki tujuan untuk mendapatkan layanan jasa pekerjaan dari pihak luar, dan pihak luar dimaksud bertujuan mendapatkan fee atas pelayanan yang diberikannya tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa outsourcing bertujuan untuk mendapatkan layanan jasa pekerjaan dengan memberikan sejumlah fee kepada pihak luar.
Outsourcing sendiri menurut definisi Shreeveport Management Consultancy adalah “The transfer to a third party of the continous management responsibility for the provision of a service governed by a service level agreement “[1]. Atau dalam bahasa Indonesia yang berarti pengalihan tanggung jawab manajemen berkelanjutan kepada pihak ketiga untuk mendapatkan pelayanan jasa yang diatur dengan perjanjian pada tingkat penyediaan jasa.
Pada awalnya, praktek outsourcing yang terjadi di Indonesia lebih cenderung ke arah pemborongan pekerjaan. Legitimasi hal tersebut dapat ditemui pada pasal 1601b KUHPerdata yang menyebutkan bahwa perjanjian pemborongan kerja ialah suatu persetujuan bahwa pihak kesatu, yaitu pemborong, mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain, yaitu pemberi tugas, dengan harga yang telah ditentukan. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, selain pemborongan pekerjaan outsourcing dapat pula berupa penyediaan jasa tenaga kerja, selanjutnya disebut outsourcing pekerja, oleh Perusahaan/Lembaga Penyedia Jasa Tenaga Kerja, selanjutnya disebut sebagai Provider.
Perbedaan antara pemborongan pekerjaan dengan outsourcing pekerja adalah sebagai berikut :[2]
1.Pemborongan pekerjaan :
a.Berdasarkan perjanjian pemborongan
b.Tenaga kerja melakukan pekerjaan berdasarkan perintah tidak langsung dari perusahaan pengguna.
c.Pengawasan terhadap tenaga kerja dilakukan langsung oleh provider.
d.Biasanya lokasi kerja dan tenaga kerja outsourcing terpisah dari lokasi kerja perusahan pengguna.
2.Outsourcing Pekerja :
a.Berdasarkan perjanjian jasa penyediaan tenaga kerja
b.Tenaga kerja outsourcing melakukan pekerjaan berdasarkan perintah langsung dari perusahaan pengguna.
c.Pengawasan terhadap tenaga kerja langsung dilakukan oleh perusahaan pengguna.
d.Biasanya lokasi kerja tenaga kerja outsourcing tidak terpisah dari lokasi tenaga kerja perusahaan pengguna.
Pengaturan Outsourcing Dalam Perundang-Undangan
Perbincangan mengenai outsourcing belakangan cukup marak terdengar. Hal ini tidak terlepas dari praktek pelaksanaannya yang telah menjamur secara luas. Bahkan banyak perusahaan yang mencoba bergerak di bidang ini, walaupun aksi penolakan yang digelar oleh pekerja sudah tidak terhitung jumlahnya. Fenomena tersebut ternyata belum didukung oleh peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai outsourcing itu sendiri. Kita hanya dapat menemukan ketentuan yang diatur dalam pasal 64, 65, dan 66 UUK serta dalam Kepmenakertrans No. 101 tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja dan Kepmenakertrans No. 220 tahun 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Sebenarnya pemerintah telah memberikan perhatian yang serius terhadap praktek outsourcing. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, di mana pada bagian lampiran disebutkan bahwa untuk masalah ketenagakerjaan, kebijakan yang diambil adalah menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja. Untuk itu, pemerintah memerintahkan Menteri Tenaga Kerja untuk membuat draft revisi UUK yang salah satunya meliputi ketentuan mengenai penyerahan sebagian pekerjaan kepada pihak lain (outsourcing).
Seperti telah disinggung sebelumnya, awalnya praktek outsourcing yang terjadi di Indonesiaadalah berupa pemborongan pekerjaan dengan mendasarkan pelaksanaannya pada pasal 1601b KUHPerdata. Kemudian terdapat beberapa ketentuan di dalam UUK yang menjadi angin segar bagi pelaksanaan outsourcing di Indonesia. Dari ketentuan yang terdapat di dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut sebenarnya tidak dapat ditemukan penyebutan istilah outsourcing secara tegas.Outsourcing hanya istilah yang berkembang di masyarakat, yang awalnya merupakan pengadopsian istilah yang diambil dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Inggris yang telah lebih dahulu mengaplikasikan outsourcing. Meskipun demikian, sebenarnya konsep yang dapat ditarik dari ketentuan-ketentuan dimaksud sebenarnya sejalan dengan istilah outsourcing.
Walaupun belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur outsourcing secara khusus, namun munculnya UUK menjadi legitimasi pelaksanaan outsourcing di Indonesia. Pasal 64 UUK menyebutkan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa tenaga kerja dengan formalitas tertentu, yaitu harus tertulis. Penulisan “atau” pada kalimat tersebut dapat dimaknai bahwa terdapat dua pilihan outsourcing, yaitu pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.
Secara legal formal, outsourcing memiliki dasar yang kuat untuk diterapkan di Indonesia. Apalagi kemudian putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Oktober 2004 atas Judicial Review pasal yang terkait outsourcing ternyata mementahkan pengajuan para pekerja atas pembatalan pasal dimaksud. Berikutadalah kutipan dari isi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut :
1.Menimbang bahwa perlindungan yang diberikan terhadap buruh outsourcing tampak dalam Pasal 66 ayat (1), (2) a, c, dan ayat (4) yang berbunyi :
Ayat (1) : Tenaga kerja dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Ayat (2) : Penyedia jasa tenaga kerja untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
Adanya hubungan kerja antara tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
c.Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa tenaga kerja.
Ayat (4) : Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara tenaga kerja dan perusahaan pemberi pekerjaan.
2.Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalam hal tenaga kerja dimaksud ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, dan jika perusahaan penyedia jasa tenaga kerja bukan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum, maka demi hukum status hubungan kerja antara tenaga kerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
3.Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang perlu dalam perlindungan terhadap pengusaha, tenaga kerja dan masyarakat secara selaras, dalil para pemohon tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antara tenaga kerja dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pelaksanaan pekerjaan pada perusahaan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 64 - 66 undang-undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenegakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistim outsourcing merupakan modern slaverydalam proses produksi.
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jelas semakin memperkuat dasar pemberlakuan outsourcing di Indonesia. Disebutkan bahwa dalam pelaksanaan outsourcing, ternyata perlindungan terhadap tenaga kerja juga tetap berjalan. Dalam artian tidak seperti anggapan kebanyakan orang yang menyebutkan bahwa outsourcing berarti perbudakan terhadap manusia.
Mengenai pemborongan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat ditemui pada pasal 64 dan 65 UUK jo. Kepmenakertrans 220/2004. Sedangkan mengenai penyediaan jasa tenaga kerja dapat ditemukan pada pasal 64 dan 66 UUK jo. Kepmenakertrans 101/2004. Untuk selanjutnya pembahasan akan difokuskan kepada Outsourcing Pekerja.
Outsourcing Pekerja
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainmelalui perjanjian penyediaan jasa tenaga kerja diatur pada pasal 64 dan 66 UUK jo. Kepmenakertrans 101/2004.
Berikut adalah hal-hal yang dapat dirangkum serta harus diperhatikan dalam pelaksanaan outsourcing pekerja :
1.Aspek Provider
a.Berbadan Hukum
Pasal 66 ayat (3) UUK menyebutkan bahwa provider merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum. Berdasarkan ketentuan di atas, yang diperbolehkan menjadi provider adalah badan usaha yang berbadan hukum. Secara umum badan usaha dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu badan usaha yang bukan berbadan hukum dan badan usaha yang berbadan hukum. Perbedaan yang sangat prinsip dari kedua badan usaha tersebut adalah masalah tanggung jawab.
Dalam hukum perdata dikenal adanya subjek hukum. Subjek hukum sendiri didefinisikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, yang mana hanya ada dua hal yang dapat menjadi pendukung hak dan kewajiban itu sendiri, yaitu manusia dan badan hukum. Badan usaha yang berbadan hukum antara lain :
1)Perseroan Terbatas
2)Koperasi
3)Perusahaan-perusahaan milik negara
Sedangkan badan usaha yang tidak berbadan hukum antara lain :
Dalam hal ini persekutuan komanditer (CV) dapat berstatus badan hukum ataupun tidak berbadan hukum. Dalam KUHDagang tidak mengatur mengenai status badan hukum persekutuan komanditer. Oleh karena itu, bagi persekutuan komanditer yang hendak mendapatkan status hukum dapat merujuk pada Stb. 1870-64 tentang pengakuan badan hukum, yaitu dengan pengakuan oleh Menteri Kehakiman yang diberikan melalui pengesahan akta pendirian (memuat Anggaran Dasar) yang dibuat di hadapan notaris. Akta pendirian yang sudah disahkan didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang. Setelah disahkan dan didaftarkan kemudian diumumkan dalam Berita Negara/Tambahan Berita Negara.[3]
Badan usaha berbadan hukum yang lazim menjadi provider selama ini hanya Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi. Tetapi belum tentu semua Perseroan Terbatas ataupun Koperasi berstatus badan hukum. Untuk mendapatkan status badan hukum, baik Perseroan Terbatas (PT) maupun koperasi harus memenuhi syarat tertentu :
1)Perseroan Terbatas (PT)
Berdasarkan undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), untuk mendapatkan status badan hukum suatu Perseroan Terbatas (PT) harus mendapatkan pengesahan Akta Pendirian (oleh notaris) dan Anggaran Dasar oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pengesahan tersebut selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara Indonesia. Kemudian Akta pengesahan didaftarkan dalam daftar perusahaan (kantor perdagangan) di wilayah hukum di mana Perseroan Terbatas (PT) berdomisili.
2)Koperasi
Berdasarkan undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian untuk mendapatkan status badan hukum suatu koperasi harus mendapatkan pengesahan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar oleh pemerintah (Menteri Koperasi) dan selanjutnya diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
b.Memiliki Ijin Operasional
Pasal 66 ayat (3) UUK jo. pasal 2 ayat (1) Kepmenakertrans 101/2004 menyebutkan bahwa untuk menjadi provider harus memiliki ijin operasional dari instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sesuai kedudukan provider. Ijin operasional tersebut berlaku di seluruh Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
c.Syarat-Syarat Lainnya
Pasal 66 ayat (2) UUK menyebutkan, untuk menjadi provider harus memenuhi syarat berikut :
1)Terdapat hubungan kerja antara provider dengan tenaga kerja yang dipekerjakan
2)Perjanjian kerja yang berlaku dan menjadi dasar hubungan kerja tersebut adalah PKWTT dan PKWT, bila memenuhi persyaratan dalam pasal 59 UUK.
3)Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab provider
4)Perjanjian kerjasama penyediaan jasa tenaga kerja antara provider tenaga kerja dibuat tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam UUK.
2.Aspek Pekerjaan
Pasal 66 ayat (1) UUK menyebutkan, tenaga kerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan atau digunakan pada kegiatan pokok perusahaan atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Terdapat syarat yang harus dipenuhi terkait pekerjaan yang tidak boleh dilakukan oleh tenaga kerja outsourcing. Kata “atau” menunjukkan adanya pilihan, yang berarti apabila memenuhi salah satu pilihan syarat larangan tersebut berarti suatu pekerjaan tidak boleh dilakukan oleh tenaga kerja outsourcing. Syarat larangan tersebut adalah :
a.Tidak boleh dipekerjakan pada kegiatan pokok (core activity), kecuali untuk jasa penunjang (non core activity); atau
b.Pekerjaan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dengan demikian, untuk memastikan apakah lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kerja outsourcing telah sesuai dengan ketentuan undang-undang atau tidak, maka setiap perusahaan harus melakukan pengujian terhadap pekerjaan yang dilakukan dengan pertanyaan sebagai berikut :
a.Apakah pekerjaan yang dilakukan merupakan kegiatan pokok perusahaan dan bukan merupakan jasa penunjang ?, jika “ya”, pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan, namun bila “tidak”, dapat dilanjutkan pada pertanyaan ke-2.
b.Apakah pekerjaan tersebut berkaitan langsung dengan proses produksi atau tidak?, jika “ya”, pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan, namun bila “tidak”, berarti pekerjaan tersebut boleh dilakukan.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut memiliki risiko yang cukup besar bagi perusahan pengguna. Ketentuan pasal 66 ayat (4) menyebutkan apabila ketentuan tersebut dilanggar maka hubungan kerja tenaga kerja outsourcing akan beralih kepada perusahan pengguna.
Banyak perbedaan interpretasi terhadap ketentuan tersebut, karena ternyata informasi mengenai klasifikasi ini dalam undang-undang masih sangat minim. Minimnya informasi tersebut membuat masalah baru berkaitan dengan pelaksanaan di lapangan, yaitu ketidaksesuaian maksud yang diinginkan antara para pembuat undang-undang dengan para praktisi bisnis.
Dalam penjelasan UUK hanya disebutkan :
“Yang dimaksud kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain : usaha kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi tenaga kerja catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengaman), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan tenaga kerja”.
Deskripsi yang diberikan tersebut sangat minim dan sempit dibandingkan dengan kebutuhan usaha saat ini. Jika dilihat kembali, pendeskripsian tersebut belum dapat menjawab kebutuhan outsourcing di suatu perusahaan. Oleh karena itu dibutuhkan pedoman atau acuan pengklasifikasian secara umum.
Salah satu cara yang dapat digunakan dalam penentuan mana yang merupakan kegiatan pokok dan penunjang adalah dengan membuat alur proses kegiatan masing-masing organ atau bagian yang ada di suatu perusahaan. Kemudian hal tersebut menjadi dasar penetapan core dan non-core activity, yaitu dengan cara melihat akibat dari keberadaan kegiatan tersebut, apabila tanpa adanya kegiatan tersebut perusahaan dapat berjalan dengan baik maka kegiatan tersebut termasuk penunjang.[4]
3.Aspek Perjanjian
Dalam konteks outsourcing pekerja, terdapat 2 (dua) tahap perjanjian yang harus dilakukan. Pertama, perjanjian kerjasama penyediaan jasa tenaga kerja, selanjutnya disebut sebagai perjanjian kerjasama, antara perusahaan pengguna dan provider. Kedua, perjanjian kerja antara provider dan tenaga kerja. Dalam pembentukan kedua jenis perjanjian tersebut, selain harus memenuhi ketentuan hukum perjanjian dalam KUHPerdata, perjanjian yang akan dibuat juga harus memenuhi ketentuan yang terdapat dalam UUK. Berikut tinjauannya :
a.Perjanjian Kerjasama Penyediaan Jasa Tenaga kerja (Perjanjian Kerjasama)
1)Tertulis
Dalam KUHPerdata, sesuai asas konsesualisme, suatu perjanjian lahir atau terbentuk ketika terdapat kata sepakat antara para pihak. Oleh karena itu yang menentukan lahirnya perjanjian adalah kesepakatan para pihak bukannya formalitas tertentu. Akibat dari tidak diperlukannya formalitas tertentu tersebut adalah para pihak dapat membuat perjanjian secara lisan maupun tertulis, selama terdapat kesepakatan mengenai itu.
Pasal 66 ayat (2) d UUK jo. Kepmenakertrans 101/2004 menentukan bahwa perjanjian kerjasama harus dibuat secara tertulis, yang berarti diperlukan formalitas tertentu dalam pembentukan perjanjian. Akibat hal ini adalah perjanjian tersebut lahir ketika terdapat kesepakatan antara para pihak yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perjanjian kerjasama batal demi hukum atau dianggap tidak pernah ada ketika tidak dituangkan secara tertulis.
Akibat tidak terpenuhinya ketentuan tersebut di atas cukup besar bagi perusahaan pengguna. Menurut pasal 66 ayat (4) UUK bila tidak terpenuhi maka hubungan kerja tenaga kerja outourcing akan beralih kepada perusahan pengguna.
2)Isi Perjanjian
Pasal 66 ayat (2) d UUK menyebutkan bahwa perjanjian kerjasama wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Undang-undang dimaksud adalah UUK yang meliputi syarat-syarat kerja, perlindungan upah, kesejahteraan, dan sebagainya.Akibat tidak terpenuhinya ketentuan tersebut di atas cukup besar bagi perusahaan pengguna. Menurut pasal 66 ayat (4) UUK bila tidak terpenuhi maka hubungan kerja tenaga kerja outsourcing akan beralih kepada perusahan pengguna.
Selain hal tersebut, dalam Kepmenakertrans 101/2004 juga disebutkan bahwa dalam perjanjian kerjasama setidaknya memuat :
a).Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh tenaga kerja;
Dalam perjanjian hendaknya mencantumkan secara spesifik pekerjaan yang akan diserahkan ke provider. Hal ini dapat menjadi legalitas bahwa benar perusahaan pengguna tidak mempekerjakan tenaga kerja outsoucing pada kegiatan pokok atau berhubungan langsung dengan proses produksi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa tenaga kerja outsourcing tidak boleh dipekerjakan pada kegiatan pokok perusahaan pengguna atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Untuk itu sebaiknya setiap perusahaan pengguna melakukan pemisahan antara core activity dan non-core activity, mana yang termasuk kegiatan pokok dan mana yang penunjang. Yang kemudian dituangkan dalam dokumen tertulis. Ketika telah dituangkan dalam dokumen tertulis, banyak manfaat yang dapat diambil, antara lain :
(1).Menjadi pedoman manajemen dalam melakukan outsourcing
(2).Dapat menjadi legalitas dalam hal terjadi perselisihan mengenai pelaksanaan outsourcing
(3).Dapat menjadi bahan untuk melakukan penjelasan mengenai kebijakan manajemen dalam melakukan outsourcing
b).Penegasan bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan hubungan kerja yang terjadi adalah antara provider dengan tenaga kerja yang dipekerjakan
Penegasan ini pada prinsipnya adalah untuk menjamin kepastian hukum tenaga kerja dan memberikan pembedaan antara outsourcing dalam bentuk penyediaan jasa tenaga kerja/buruh dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labor Supplier) sebagaimana diatur dalam pasal 35, 36, 37, dan 38 UUK.
Pertama adalah menjamin kepastian hukum. Adanya kepastian hukum mengenai status hubungan kerja tenaga kerja dapat memberikan kejelasan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan aspek ketenagakerjaan, baik itu syarat-syarat kerja, perlindungan upah, kesejahteraan, dan sebagainya.
Yang kedua adalah pembedaan antara outsourcing dengan Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (Labor Supplier). Hubungan kerja sendiri terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Konsep dari Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta adalah apabila pekerja telah ditempatkan, maka hubungan kerja yang terjadi sepenuhnya adalah antara pekerja dengan perusahaan pengguna. Sedangkan konsep outsourcing dalam bentuk penyediaan jasa tenaga kerja adalah hubungan kerja yang terjadi adalah antara tenaga kerja dengan provider. Mengenai status hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja dalam penyediaan jasa tenaga kerja akan dibahas dalam pembahasan selanjutnya.
c).Penegasan bahwa provider bersedia menerima tenaga kerja dari provider sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pengguna bila terjadi penggantian provider.
Maksud dari ketentuan ini sebenarnya memberi keuntungan bagi perusahaan pengguna dan tenaga kerja outsourcing. Keuntungan bagi perusahaan pengguna adalah lebih terjaminnya pelaksanaan pekerjaan yang terus-menerus di-outsource-kan tersebut, karena tidak perlu menghadirkan tenaga kerja outsourcing baru yang masih membutuhkan adaptasi, pentransferan pekerjaan, pembelajaran, dan sebagainya. Sedangkan bagi tenaga kerja outsourcing adalah lebih menjamin pekerjaan dan perlindungan baginya.
3)Pendaftaran Perjanjian Kerjasama
Menurut pasal 5 Kepmenakertrans 101/2004, perjanjian kerjasama wajib didaftarkan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota di tempat provider melaksanakan pekerjaan dengan melampirkan draft perjanjian kerja antara provider dengan tenaga kerja yang dipekerjakan.
Pengecualian tempat domisili pendaftaran tersebut adalah sebagai berikut :
a).Jika provider melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pengguna yang berada dalam wilayah lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi, pendaftaran dilakukan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi;
b).Jika provider melaksanakan pekerjaan pada perusahaan pengguna yang berada dalam wilayah lebih dari satu provinsi, pendaftaran dilakukan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial.
Dalam hal tidak terpenuhinya ketentuan di atas, maka berdasarkan pasal 7 Kepmenakertrans 101/2004 ijin operasional provider dicabut oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
b.Perjanjian Kerja
Hubungan kerja terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Dalam outsourcing pekerja pihak yang membuat perjanjian kerja adalah provider dengan tenaga kerja outsourcing yang dipekerjakan. Oleh karena itu, hubungan kerja yang terbentuk dalam outsourcing pekerja adalah antara provider dengan tenaga kerja outsourcing yang dipekerjakan, bukan antara perusahaan pengguna dan tenaga kerja outsourcing.
Selain itu, pasal 66 ayat (2) UUK juga menyebutkan bahwa untuk menjadi provider salah satunya harus memenuhi ketentuan adanya hubungan kerja antara provider dan tenaga kerja outsourcing yang dipekerjakannya. Implikasi dari hal ini adalah bahwa segala hak dan kewajiban yang muncul akibat adanya hubungan kerja merupakan tanggung jawab kedua belah pihak tersebut. Begitu pula halnya dengan masalah perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab provider.
Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara provider dengan tenaga kerja yang dipekerjakannya adalah PKWT yang memenuhi ketentuan pasal 59 UUK atau PKWTT yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak. Maksud dari ketentuan tersebut adalah baik PKWT maupun PKWTT dapat diberlakukan di dalam outsourcing pekerja. PKWTT diberlakukan oleh provider terhadap pekerja yang dipekerjakannya dalam hal pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan pengguna menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya tetap. Sedangkan PKWT diberlakukan oleh provider terhadap pekerja yang dipekerjakannya dalam hal pekerjaan yang diberikan oleh perusahaan pengguna menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu atau untuk selesainya suatu pekerjaan tertentu.
* Budhi Prasetyo
Daftar Pustaka
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kepmenakertrans Nomor 101 tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja.
Kepmenakertrans No. 220 tahun 2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Indrajit, R.E., Djokopranoto, R., 2003, Proses Bisnis Outsourcing, Jakarta : Grasindo.
Muhammad, A., 2000, Hukum Perdata Indonesian, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.