Rabu, 02 September 2009

Kekuatan Pembuktian Testimonium de Auditu

Dalam sistem hukum di Indonesia, dikenal adanya hukum formil atau yang biasa disebut dengan hukum acara. Sebut saja diantaranya Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata Formil) atau juga Hukum Acara Pidana (Hukum Pidana Formil). Hukum formil tersebut tidak dapat dilepaskan dari hukum materiilnya (Hukum Perdata atau Hukum Pidana), karena pada dasarnya hukum formil adalah hukum yang memberikan jaminan bagaimana ditegakkan atau dipertahankannya hukum materiil.

Kaedah-kaedah atau norma-norma yang terdapat di dalam hukum materiil perlu ditegakkan atau dipertahankan. Pelanggaran terhadap kaedah-kaedah atau norma-norma yang terdapat di dalam Hukum Materil tidak boleh dibiarkan terjadi, karena pada hakekatnya adanya hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia. Oleh karenanya untuk melindungi kepentingan manusia, maka diperlukan hukum formil yang dapat menjamin ditegakkan atau dipertahankannya hukum materiil. Dengan demikian antara hukum materiil dan hukum formil adalah berkaitan.

Menegakkan atau mempertahankan hukum materiil dapat dilakukan dengan cara melakukan pembuktian terhadap adanya pelanggaran terhadap kaedah-kaedah atau norma-norma yang ada. Pembuktian tersebut dapat dilakukan melalui lembaga peradilan, dan di sinilah peran dari hukum formil sangat dibutuhkan, karena hukum formil mengatur tata cara bagaimana beracara di pengadilan.

Berbicara mengenai pembuktian terhadap pelanggaran kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum materiil, tentunya tidak terlepas dari adanya alat bukti. Berikut adalah alat bukti yang dikenal di dalam hukum perdata formil dan hukum pidana formil :

Hukum Perdata Formil :

1. Surat

2. Saksi

3. Persangkaan

4. Pengakuan

5. Sumpah

Hukum Pidana Formil :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Terkait dengan saksi atau keterangan saksi dikenal adanya istilah Testimonium de Auditu. Testimonium de auditu memiliki arti bahwa keterangan yang diberikan saksi bukanlah keterangan yang asalnya dari peristiwa/kejadian yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh saksi tersebut, namun merupakan keterangan yang diperoleh saksi dari orang lain. Dengan kata lain, apa yang diucapkan saksi di pengadilan merupakan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami orang lain namun orang tersebut tidak bersaksi di pengadilan.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kekuatan pembuktian Testimonium de Auditu tersebut ?. Pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Arti dari Testimonium de Auditu tidak memenuhi syarat untuk dapat disebut sebagai “keterangan saksi” yang notabene merupakan salah satu alat bukti yang dikenal dalam hukum pidana formil. Dengan demikian Testimonium de Auditu bukanlah keterangan saksi yang sah yang dapat digunakan dalam beracara di pengadilan atau bukan merupakan alat bukti yang dikenal dalam hukum pidana formil.

Selanjutnya, untuk mengetahui kekuatan pembuktian testimonium de Auditu dalam ranah hukum .perdata formil dapat dilihat melalui ketentuan yang terdapat pada pasal 171 Het Herzeine Indonesisch Reglement (HIR) atau pasal 1907 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/Burgerlijk Wetboek (BW).

Pasal 171 HIR :

(1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya.

(2) Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian.

Pasal 1907 BW :

Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.

Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh saksi dalam pengadilan haruslah peristiwa/kejadian yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri oleh saksi , sehingga perlu adanya penjelasan dari saksi tentang peristiwa/kejadian yang diterangkannya melalui pendengarannya, penglihatannya, atau yang dialami secara langsung tersebut. Sehingga kesaksian yang diperoleh melalui pemikiran bukanlah suatu kesaksian. Meskipun demikian, penggunaan Testimonium de Auditu tidak dilarang untuk dijadikan persangkaan, di mana keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain dapat dianggap sebagai persangkaan. Hal ini dapat dilihat atau ditemui dalam Mahkamah Agung No. 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959.

Budhi Prasetyo