Sabtu, 22 Agustus 2009

Pencadangan Dana Pesangon Bagi Tenaga Kerja

Sebelum masuk kepada pebahasan terkait pencadangan dana pesangon, berikut dijabarkan perbedaan antara program dana pensiun dan pesangon :

No

Hal

Program Dana Pensiun

Pesangon

1

Pengaturan

UU 11 th 1992 Tentang Dana Pensiun

Pasal 156 UU 13 th 2003 Tentang Ketenagakerjaan

2

Sifat

Sukarela

Wajib

3


Kewajiban pencadangan/pengalihan/ pendanaan

Ada
Pemisahan dana dari kekayaan perusahaan dengan membentuk badan hukum terpisah (DPPK) atau diserahkan kepada badan hukum lain (DPLK)

Tidak diatur di dalam ketentuan peraturan per-UU-an, belum ada skema yang mengatur mengenai pencadangan dan penyerahan pengelolaannya

4

Kewajiban penyerahan pengelolaan dana kepada pihak ke-3

Ada
Perusahaan dapat membentuk badan hukum dana pensiun (DPPK) atau menyerahkan kepada badan hukum lain (DPLK)

5


Filosfis

Memberikan kesejahteraan kepada pekerja di hari tua dengan bentuk adanya kesinambungan penghasilan setelah pekerja memasuki usia pensiun dan tidak lagi bekerja

Bantuan dana kepada pekerja setelah terjadi PHK sebagai modal untuk menyambung hidup sebelum mendapat pekerjaan baru

6

Pembayaran manfaat

Pada dasarnya pembayaran manfaat pensiun dilakukan secara bulanan

Dilakukan sekaligus


Melalui tabel di atas dapat diketahui perbedaan antara program dana pensiun dan pesangon. Namun unuk lebih jelasnya ada baiknya uraian dijelaskan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini :

1. Apakah Perusahaan harus mencadangkan dana untuk imbalan kerja (pesangon) pekerja ?

Belakangan ini, banyak perusahaan telah mencadangkan dana pesangon untuk persiapan pembayaran kewajiban perusahaan kepada pekerja bila terjadi PHK. Sebenarnya pencadangan dana pesangon tidak diwajibkan oleh undang-undang, karena memang belum ada ketentuan yang mewajibkan hal tersebut. UU 13 tahun 2003 hanya membebankan kewajiban pembayaran pesangon kepada pengusaha apabila terjadi PHK sebagaimana dimaksud pada pasal 156 ayat (1), tanpa ada pembebanan kewajiban lebih lanjut untuk mencadangkan dana tersebut. Namun demikian, dalam waktu dekat setiap perusahaan wajib mendanakan/mencadangkan hal tersebut dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Program Jaminan Kompensasi PHK yang saat ini masih dalam rancangan dan pembahasan oleh pemerintah.

Namun demikian, bagi perusahaan yang telah memiliki program dana pensiun untuk para pekerjanya, UU Ketenagakerjaan telah memberikan suatu skema untuk mengkompensasikan manfaat pensiun dari program dana pensiun yang telah terbentuk untuk pembayaran uang pesangon dan penghargaan masa kerja pekerja jika terjadi PHK karena pensiun. Skema tersebut dapat ditafsirkan dari ketentuan pasal 167 UU Ketenagakerjaan. Jadi perusahaan tidak perlu lagi memberikan manfaat pensiun dan pesangon jika pekerja telah memasuki usia pensiun. Namun perusahaan dapat memberikan pesangon saja yang telah dikompensasikan dari manfaat pensiun. Adapun manfaat pensiun yang dapat dikompensasikan adalah manfaat pensiun yang iurannya dibayar oleh pengusaha. Tetapi bila manfaat pensiun yang dikompensasikan tersebut nilainya lebih kecil dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja yang seharusnya diterima oleh pekerja tersebut, maka perusahaan wajib membayar kekurangannya.

2. Apakah Perusahaan harus menyerahkan pengelolaan pencadangan dimaksud kepada pihak ke-3 ?

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa belum terdapat peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pencadangan/pendanaan berikut kewajiban untuk menyerahkan pengelolaan dana pesangon kepada pihak ke-3. Dengan demikian, tidak menjadi masalah apabila perusahaan mencadangkan dana pesangon tanpa menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ke-3, yaitu dengan cara memisahkan dana dimaksud dengan menggunakan skema tertentu, seperti memasukkan dalam rekening bank perusahaan yang khusus digunakan untuk dana cadangan pesangon atau dengan cara lainnya. Hal ini berarti cadangan dana dimaksud masih termasuk ke dalam kekayaan perusahaan. Menurut ketentuan perpajakan, khususnya pajak penghasilan atas pesangon, dana cadangan pesangon dalam perusahaan tidak dapat dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, karena dana dimaksud belum dianggap atau temasuk dalam penghasilan pekerja.

Selain itu, perusahaan juga dapat melakukan pencadangan dana pesangon dengan cara menyerahkan pengelolaannya kepada pihak ke-3. Penyerahan pengelolaan kepada pihak ke-3 tersebut dapat dikatakan bahwa perusahaan telah mengalihkan kekayaan kepada pihak lain (para pekerja yang dimiliki oleh perusahaan). Dikatakan demikian karena perusahaan dianggap telah memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon, yang pelaksanaannya tertunda sampai dengan terjadinya PHK, di mana tanggung jawab pembayarannya telah dialihkan kepada pihak ke-3 yang menjadi pengelola dana dimaksud. Hal ini dapat ditafsirkan dari ketentuan yang terdapat di dalam pasal 3 ayat (1) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-350/PJ/2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dialihkan Kepada Pengelola Dana Pesangon tenaga Kerja, yang menyebutkan “Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara sekaligus, karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang pesangon sehingga pemberi kerja wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana ketentuan dalam pasal 2”.

Namun, apakah perusahaan (PT) dapat mengalihkan kekayaannya kepada pihak lain?. Berdasarkan pengertian dari PT itu sendiri yang terdapat di dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), PT adalah merupakan badan hukum, yang dengan demikian PT juga merupakan subjek hukum. PT dapat menyandang hak dan kewajiban dan juga mempunyai kekayaan yang terpisah dari pemilik/pemegang saham maupun pengurusnya.

Bila melihat kepada ketentuan pasal 102 ayat (1) UU Perseroan Terbatas dapat diketahui bahwa kekayaan perusahaan dapat dialihkan. Pasal 102 ayat (1) menyebutkan :

“Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk :

a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau

b. ………………………………………………

yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.”

3. Apakah manfaat pesangon yang dicadangkan dapat digunakan untuk membayar kewajiban perusahaan lainnya kepada pekerja ?

Dalam hal pencadangan dana dilakukan dengan cara mengalihkannya kepada pihak ke-3, maka manfaatnya tidak dapat digunakan atau ditarik kembali oleh perusahaan untuk membayar kewajiban perusahaan lainnya bagi pekerja.

Merujuk kepada ketentuan perpajakan terkait pajak penghasilan atas pesangon yang ditafsirkan dari Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-350/PJ/2001 tentang Perlakuan Perpajakan atas Uang Pesangon yang Dialihkan Kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, dapat diketahui bahwa pembayaran uang pesangon untuk pekerja yang dialihkan ke pengelola pihak ke-3, baik yang dibayarkan secara sekaligus maupun secara bertahap dapat dibebankan sebagai biaya oleh perusahaan dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Penafsiran ini dilakukan karena dengan pengalihan kepada pihak ke-3 berarti dianggap pekerja telah menerima hak atas manfaat uang pesangon yang merupakan penghasilan pekerja bersangkutan.

Menurut teori akuntansi, dengan adanya pembebanan sebagai biaya atas dana cadangan dimaksud, maka dana dimaksud dianggap merupakan biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk membayar uang pesangon pekerja, dan dana tersebut tidak dapat ditarik atau digunakan perusahaan untuk hal-hal lain guna memenuhi kewajiban perusahaan lainnya atas pekerja.

Sekian....

Kamis, 13 Agustus 2009

Mangkir Bag. 2 (PHK Karena Kemangkiran)

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelasakan mengenai definisi mangkir. Mangkir sendiri merupakan tindakan indisipliner yang sering ditemui dalam hubungan kerja, dan jika dibiarkan terjadi tentunya perilaku ini cukup mempengaruhi produktivitas suatu perusahaan. Selain itu, perilaku mangkir yang dibiarkan tanpa adanya sanksi yang tegas dapat pula membawa dampak yang buruk terhadap lingkungan kerja. Hal tersebut akan menjadi preseden buruk, dan mempengaruhi pekerja lainnya untuk melakukan hal yang serupa.

Sanksi atas mangkirnya pekerja telah disebutkan secara jelas di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK. Pasal 168 UUK menyebutkan :
  1. Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
  2. Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
  3. Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ayat-ayat dalam pasal 168 sangat jelas menyebutkan cara memberikan sanksi dan hak yang harus diberikan terhadap pekerja yang mangkir. Namun, dalam kenyataannya banyak terjadi kesalahan membaca maksud dari pasal tersebut. Kesalahan membaca tentunya akan berakibat sanksi yang diberikan menjadi tidak efektif dan menimbulkan masalah baru.

Banyak pihak yang salah menafsirkan dan memahami ketentuan pasal tersebut. Penafsiran yang terjadi adalah bahwa jika pekerja mangkir dan telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut secara patut dan tertulis, maka pekerja “dianggap” telah mengundurkan diri dan karenanya dilakukan PHK terhadap pekerja yang bersangkutan. Yang menganggap pekerja mengundurkan diri adalah pihak yang salah membaca dan memahami ketentuan, padahal tidak ada disebutkan kata “dianggap” dalam ketentuan tersebut, yang berarti tidak boleh ditafsirkan bahwa pengunduran diri telah terjadi.

Coba simak sekali lagi ketentuan di atas, disebutkan bahwa pekerja yang mangkir dan telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. Ketentuan tersebut menyebutkan “dikualifikasikan mengundurkan diri”, dan oleh karenanya pengusaha dapat melakukan PHK. Hal ini sangat berbeda dengan pekerja yang mengundurkan diri. Sesuai ketentuan pasal 162 UUK, pengunduran diri terjadi jika ada pengajuan tertulis dari pekerja.

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, walaupun terdapat kata dikualifikasikan mengundurkan diri, namun sebelumnya terdapat kata “dapat diputus hubungan kerjanya”. Kata inilah yang merupakan kata kunci yang juga membedakan “mengundurkan diri” dengan “dikualifikasikan mengundurkan diri”. Jika mengundurkan diri, inisiatif untuk terjadinya PHK ada pada pekerja, yaitu dengan adanya pengajuan tertulis. Sedangkan jika dikualifikasikan mengundurkan diri, inisiatif terjadinya PHK ada pada pengusaha. Kata “dapat” memberikan hak kepada pengusaha untuk memilih melakukan atau tidak melakukan PHK. Mengapa demikian ?, karena sebenarnya secara terminologi kata “dapat” menimbulkan konsekuensi hukum dapat juga tidak di-PHK.

Kalimat yang terdapat pada ketentuan pasal 168 UUK haruslah ditafsirkan secara benar. Penafsiran yang benar dilakukan untuk mencari kebenaran yang hakiki dari maksud pembuat UU. Penafsiran tidak dibenarkan dilakukan dengan cara mengambil pemahaman untuk memudahkan tindakan. Pemahaman atas pekerja mangkir yang “dianggap” mengundurkan diri merupakan penafsiran yang memudahkan tindakan bagi pengusaha untuk mengakhiri hubungan kerja dengan pekerja, padahal tidak ada pengajuan secara tertulis dari pekerja untuk mengundurkan diri, tapi ditafsirkan pengunduran telah terjadi. Mengapa disebut untuk memudahkan tindakan ?, Pasal 154 butir b UUK menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja karena pekerja mengundurkan diri tidak membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selanjutnya disebut Lembaga PPHI. Hal inilah yang disebut memudahkan tindakan untuk melakukan PHK terhadap pekerja.

Pemahaman untuk memudahkan tindakan mungkin dilakukan oleh beberapa pihak karena adanya keinginan untuk memenuhi rasa keadilan bagi diri mereka sendiri. Berangkat dari tataran etika, memang sangat tidak etis bagi seorang pekerja melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati, termasuk mengenai waktu kerja di perusahaan., apalagi telah dilayangkan 2 (dua) kali surat panggilan kepada pekerja tersebut. Lantas buat apa bersusah payah melakukan PHK dengan cara mengajukan permohonan ke Lembaga PPHI, bukankah yang tidak mau bekerja adalah si pekerja sendiri ?, apalagi UUK menyebutkan “dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri” yang dapat ditafsirkan “pekerja dianggap telah mengundurkan diri”.

Lalu bagaimanakah cara memberikan sanksi terhadap pekerja yang mangkir dengan penafsiran yang sesuai ketentuan pasal 168 UUK ?. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan atau tidak melakukan PHK. Hal ini ditafsirkan dari adanya kata-kata “dapat diputus hubungan kerjanya” sebelum kata-kata dikualifikasikan mengundurkan diri. Kata “dapat” secara terminologi menimbulkan konsekuensi hukum dapat juga tidak diputus hubungan kerjanya. Jika pilihan pengusaha adalah melakukan PHK terhadap pekerja yang mangkir, maka PHK tersebut harus dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Di mana PHK harus melalui proses penetapan oleh Lembaga PPHI. Permohonan penetapan PHK dilakukan dengan alasan PHK karena kemangkiran yang dikualifikasikan mengundurkan diri. Konsekuensi yang muncul selama proses tersebut dan selama belum ada penetapan/putusan PHK dari lembaga PPHI adalah hubungan kerja masih berlangsung dan pengusaha wajib membayarkan apa yang menjadi hak pekerja, kecuali yang bukan menjadi hak selama yang bersangkutan mangkir.

Kata-kata dikualifikasikan mengundurkan diri di atas bukan berarti pengunduran diri telah terjadi, karena tidak ada syarat pengunduran diri terpenuhi. Maksud adanya kata-kata tersebut adalah untuk memunculkan hak pekerja mangkir yang disamakan dengan orang yang mengundurkan diri sebagaimana tertuang dalam ayat (3) pasal 168 UUK. Jadi, pekerja yang mangkir tidak sama dengan pekerja yang mengundurkan diri, namun jika terjadi PHK atas pekerja yang mangkir, maka hak yang diberikan kepadanya adalah sama dengan pekerja yang mengundurkan diri, karena terhadap tindakan yang dilakukannya telah diklasifikasikan mengundurkan diri.

Sekian…semoga bermanfaat dan menjadi pencerahan.....

Mangkir Bag. 1 (Definisi)

Dalam setiap hubungan kerja, tentunya banyak ditemukan tindakan-tindakan indisipliner pekerja. Tindakan-tindakan indisipliner tersebut terkadang membuat pusing pemberi kerja (manajemen), terutama saat memikirkan langkah pembinaan yang salah satunya adalah pemberian sanksi yang tepat. Terkadang hal tersebut menjadi buah simalakama bagi manajemen. Di satu sisi jika dibiarkan, tindakan indisipliner salah seorang pekerja akan membawa preseden atau efek negatif terhadap pekerja lainnya, sedangkan di sisi lain, ketika akan mengambil tindakan/pemberian sanksi, sangat mungkin manajemen menemui kebingungan sanksi yang bagaimana yang tepat diberikan atau apakah langkah pemberian sanksi telah telah sesuai koridornya atau belum.

Salah satu tindakan indisipliner pekerja yang sangat sering ditemukan adalah tindakan mangkir. Lalu apakah yang dimaksud dengan mangkir ?. Selama ini mungkin banyak pihak yang telah mendefinisikan istilah mangkir, namun ada baiknya dalam tulisan ini akan dibahas terlebih dahulu mengenai definisi mangkir.

Menurut opini penulis, mangkir dapat didefinisikan “tidak bekerjanya pekerja secara tidak sah dan dapat dipertanggungjawabkan.” Definisi tersebut dapat diperjelas dengan menjabarkan 3 (tiga) kata kunci yang sengaja dicetak dengan huruf tebal, yaitu :

a. Tidak bekerja

Tidak bekerja berarti pekerja tidak hadir atau berada di tempat kerja perusahaan (majikan) dan/atau melakukan pekerjaan yang telah diperjanjikan atau diperintahkan majikan.

b. Tidak sah

Tidak sah berarti tidak ada dasar atau legalitas yang menjadi alasan pembenar tidak masuk bekerjanya seorang pekerja. Dasar atau legalitas dapat saja berasal dari Peraturan Perundang-Undangan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Pada beberapa perusahaan sangat lazim diatur dalam instrumen ketenagakerjaannya mengenai alasan diperbolehkannya seorang pekerja meninggalkan pekerjaannya/tidak masuk bekerja di luar yang telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan atau juga dalam beberapa kasus hal tersebut belum diatur namun terdapat kebijakan perusahaan yang memberikan toleransi atas tidak masuk pekerja.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan seperti UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah diatur secara tegas mengenai alasan yang dibenarkan bagi pekerja untuk tidak meninggalkan pekerjaannya/tidak masuk bekerja, antara lain :

1) Karena berhalangan, seperti sakit, terdapat keluarga yang meninggal, dan sebagainya.

2) Karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, seperti melaksanakan tugas sebagai pengurus Serikat Pekerja, tugas negara, atau melaksanakan ibadah keagamaan.

3) Karena melaksanakan hak istirahat dan cuti, seperti istirahat di antara jam kerja, istirahat mingguan, cuti tahunan, istirahat panjang, atau istirahat karena bersalin/melahirkan.

c. Tidak dapat dipertanggungjawabkan

Tidak dapat dipertanggungjawabkan dapat berarti tidak ada bukti pendukung atas alasan tidak masuk pekerja, baik alasan yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Bukti pendukung haruslah berasal dari pihak yang berwenang untuk memberikannya.

Demikianlah definisi mangkir menurut penulis. Namun terdapat satu hal lagi yang perlu dicermati dari definisi di atas adalah maksud dari rangkaian kata “secara tidak sah dan dapat dipertanggungjawabkan”. Secara terminologi, kata “dan” pada rangkaian tersebut berarti rangkaian kata sebelum dan sesudah kata “dan” merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, yang berarti pula bahwa dua rangkaian kata yang dipisahkan kata “dan” merupakan syarat kumulatif. Jika tidak masuk bekerjanya seorang pekerja tidak mau disebut sebagai mangkir maka alasan tidak masuknya harus sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu syarat saja tidak terpenuhi dapat saja hal tersebut dikategorikan mangkir.

Sebagai contoh, seorang pekerja tidak masuk bekerja karena sakit namun yang bersangkutan tidak memberikan surat keterangan dokter yang menyatakan dirinya sakit. Dengan kondisi tersebut, apakah perusahaan dapat begitu saja percaya bahwa tidak masuknya pekerja karena benar-benar dirinya sakit ? tentu saja tidak, bahkan yang lebih buruk lagi dapat saja perusahaan menganggap yang bersangkutan mangkir.

Demikian pembahasan yang dapat diberikan...semoga bermanfaat....

Istirahat Panjang (Cuti Besar)

I. Dasar Hukum

Pasal 79 ayat (2) d dan ayat (4) UU No. 13 tahun 2003 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Kepmenakertrans No. KEP. 51/MEN/IV/2004 tentang Istirahat Panjang Pada Perusahaan Tertentu

II. Pembahasan

Pemberian istirahat panjang kepada pekerja merupakan hal normatif yang telah diatur di dalam UU Ketenagakerjaan. Menurut pasal 79 UU Ketenagakerjaan, perusahaan wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerjanya. Salah satu waktu istirahat yang wajib diberikan adalah istirahat panjang sekurangnya 2 (dua) bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama, di mana istirahat panjang tersebut dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing selama 1 (satu) bulan, dan selanjutnya hal tersebut berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.

Konsekuensi dari pelaksanaan istirahat panjang tersebut adalah pekerja tidak berhak lagi atas istirahat tahunan/cuti tahunannya untuk 2 (dua) tahun berjalan pada saat pekerja tersebut menjalankan istirahat panjangnya di tahun ketujuh dan kedelapan. Selanjutnya perusahaan membuat aturan mengenai pelaksanaan istirahat panjang ini.

Namun, ternyata terdapat syarat atau pembatasan atas hak normatif yang dimiliki pekerja tersebut, di mana hak istirahat panjang hanya berlaku bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan tertentu. Menurut Kepmenakertrans 51 tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud perusahaan tertentu adalah perusahaan-perusahaan yang selama ini telah melaksanakan istirahat panjang sebelum ditetapkannya keputusan menteri tersebut. Atau dengan kata lain pelaksanaan istirahat panjang wajib dilakukan oleh perusahaan yang sebelumnya telah melaksanakannya sebelum ditetapkannya Kepmenakertrans 51 tahun 2004. Sedangkan hal tersebut tidak menjadi kewajiban bagi perusahaan yang sebelumnya tidak pernah melaksanakannya. Meskipun demikian, tidak ada salahnya (diperbolehkan) apabila perusahaan-perusahaan yang tidak memiliki kewajiban tersebut hendak memberikan yang lebih baik dari yang diatur di dalam UU kepada pekerja.

III. Kesimpulan

Kewajiban pemberlakuan istirahat panjang (cuti besar) hanya berlaku bagi perusahaan yang telah menerapkan sebelum ditetapkannya Kepmenakertrans 51 tahun 2004.

PHK Karena Efisiensi

Dalam konsep Hubungan Industrial (HI), istilah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kerap sekali terdengar. Hubungan Industrial, merupakan pengertian yang lebih spesifik dari hubungan kerja, karena HI merupakan kelanjutan dari adanya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pengusaha dan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah, sebagaimana didefinisikan di dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut dengan UUK.

Hubungan kerja itu sendiri awalnya merupakan hubungan hukum dalam hukum privat, karena hanya menyangkut hubungan hukum antar perorangan, yaitu antara pengusaha dengan pekerja. Namun dalam perkembangannya ternyata hubungan hukum tersebut ternyata membutuhkan campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena tujuan hukum ketenagakerjaan ternyata sesuai / sejalan dengan tujuan Negara dan menyangkut kepentingan khalayak banyak. Campur tangan pemerintah dibutuhkan karena pemerintah memiliki fungsi untuk menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dengan adanya campur tangan pemerintah tersebut, trend yang terjadi saat ini adalah hukum ketenagakerjaan dimasukkan ke dalam hukum publik, walaupun masih banyak perdebatan mengenai hal tersebut.

Dalam UU No. 04 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, selanjutnya disebut dengan PPHI, PHK merupakan atau dapat menjadi salah satu penyebab Perselisihan Hubungan Industrial. Pada pasal 150 sampai dengan pasal 172 UUK dapat diketahui mengenai segala sesuatu terkait PHK, termasuk salah satunya mengenai alasan-alasan melakukan PHK. Namun sayangnya banyak pihak yang salah menafsirkan mengenai alasan-alasan melakukan PHK tersebut, entah dikarenakan keterbatasan pemahaman atau juga karena redaksional / klausul pada UUK yang banyak disebut mengandung ambiguitas. Salah satu kesalahan penafsiran yang sering terjadi adalah pada ketentuan pasal 164 ayat (3) UUK, di mana disebutkan “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi,........................”.

Banyak pihak yang menafsirkan bahwa salah satu alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerjanya adalah karena “melakukan efisiensi”. Padahal, sebenarnya UUK sendiri tidak pernah mengenal alasan PHK karena melakukan efisiensi. Kesalahan penafsiran tersebut mungkin terjadi karena banyak pihak yang kurang cermat membaca redaksional pada ketentuan yang ada (hanya sepenggal-sepenggal). Melihat pada ketentuan di atas dapat terjadi banyak pihak yang membacanya sebagaimana ilustrasi berikut :

Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena :

1. Perusahaan tutup karena :

a. bukan karena mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut

b. bukan karena keadaan memaksa (force majeur)

2. Melakukan efisiensi.

Jika dibaca seperti itu, dapat diartikan bahwa terdapat 2 (dua) alasan pembenar perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja, yang pertama adalah karena perusahaan tutup bukan karena kerugian atau force majeur dan yang kedua adalah karena melakukan efisiensi.

Belakangan ini sangat marak perusahaan yang melakukan PHK massal terhadap pekerjanya dengan alasan efisiensi. Beberapa pihak menafsirkan PHK dapat dilakukan dengan alasan efisiensi, yang notabene penafsiran tersebut dapat dikatakan salah. Bahkan yang lebih parah adalah banyak yang melakukan PHK dengan alasan tersebut karena latah, ikut-ikutan pihak lain yang belum tentu apa yang dilakukan benar atau salah. Lalu alasan PHK apakah yang diatur di dalam pasal 164 ayat (3) tersebut?

Untuk mempermudah penafsiran, berikut akan dicantumkan keseluruhan isi pasal 164 UUK :

Pasal 164

1. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

2. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.

3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Jika dicermati kembali, penekanan harus diberikan pada klausul perusahaan tutup”, karena pasal 164 ini sebenarnya mengatur alasan bagi perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup, bukan karena alasan lainnya. Berikut akan coba dipenggal satu persatu kalimat yang terdapat pada ayat-atyat di atas :

Ayat (1)

a. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh.................

mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh UUK, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk dapat melakukan PHK tersebut.

b. karena perusahaan tutup................

merupakan alasan untuk melakukan PHK

c. yang disebabkan karena

1) perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; atau

2) keadaan memaksa (force majeur)

merupakan sebab-sebab mengapa perusahaan tutup, dan secara terminologi sebab tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja hanya 1 kali ketentuan pasal 156 UUK (bandingkan dengan hak pada ayat (3) di bawah),

d. dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

hak pekerja atas PHK yang dilakukan perusahaan

ayat (3)

a. pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh.................

mengisyaratkan bahwa sebenarnya PHK dibenarkan oleh UUK, namun harus memperhatikan syarat-syarat atau ketentuan untuk dapat melakukan PHK tersebut.

b. karena perusahaan tutup................

merupakan alasan untuk melakukan PHK

c. ............... :

1) bukan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun; atau

2) bukan karena keadaan memaksa (force majeur)

3) tetapi perusahaan melakukan efisiensi

butir 1) dan 2) bukanlah sebab-sebab perusahaan tutup, tetapi merupakan klausul pengecualian untuk membedakan dengan sebab-sebab pada ayat (1). Yang menjadi penyebab perusahaan tutup adalah butir 3), yaitu untuk melakukan efisiensi. Dan secara terminologi sebab tersebut menjadi dasar munculnya mengapa uang pesangon dan penghargaan masa kerja yang menjadi hak pekerja menjadi 2 kali ketentuan pasal 156 UUK

d. dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

hak pekerja atas PHK yang dilakukan perusahaan

Dari penggalan kedua ayat yang terdapat pada pasal 164 ayat (1) dan (3) di atas terlihat bahwa :

- butir b : alasan untuk melakukan PHK, yaitu tutupnya perusahaan

- butir c : penyebab mengapa perusahaan tutup, dan menjadi dasar untuk menentukan besarnya hak pekerja karena terjadinya PHK

Tutupnya perusahaan karena rugi dan force majeur, pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 1 kali ketentuan pasal 156 UUK, sedangkan apabila tutupnya perusahaan karena melakukan efisiensi pesangon dan penghargaan masa kerjanya hanya 2 kali ketentuan pasal 156 UUK.

Dengan demikian, kata efisiensi yang terdapat di dalam pasal 164 ayat (3) UUK tidak dapat diartikan bahwa hal tersebut menjadi dasar perusahaan untuk melakukan PHK terhadap pekerja atau juga “Mengefisienkan biaya tenaga kerja” dengan cara mem-PHK pekerja yang ada. Namun harus diartikan bahwa PHK dapat dilakukan perusahaan apabila perusahaan tutup, dan tutupnya perusahaan adalah sebagai bentuk efisiensi, atau dengan kata lain "Pengusaha melakukan efisiensi, caranya dengan menutup perusahaan". Di pasal tersebut disebutkan kata "pengusaha", bisa saja pengusaha memiliki suatu perusahaan holding dengan beberapa perusahaan anak. Dengan adanya suatu hal tertentu pengusaha merasa harus melakukan efisiensi dengan cara menutup salah satu perusahaan anak. Dengan ditutupnya perusahaan tersebut, maka "pengusaha dapat melakukan PHK atas tenaga kerjanya".

Selanjutnya Jika penutupan perusahaan tersebut disebabkan oleh kerugian selama 2 tahun berturut-turut atau force majeur, maka diterapkan ketentuan Pasal 164 ayat (1). Namun jika penutupan perusahaan untuk kepentingan efisiensi maka diterapkan Pasal 164 ayat (3).

* dari berbagai sumber

Pengartian Kata

Apakah arti sebuah kata bagi sebagian besar orang ?, Bagaimana halnya bila Anda mendengar kata pelacur, bandingkan juga bagaimana halnya bila Anda mendengar kata haji atau bila mendengar kata guru ?. Pastinya pikiran akan langsung menghakimi dan menjerumuskan kata-kata itu terkait dengan salah satu negasi, yaitu baik-buruk. Kata pelacur diidentikkan dengan keburukan karena dominasi paradigma orang telah mengarah bahwa kata pelacur berarti kontra dengan norma masyarakat dan agama. Sebaliknya, kata haji atau guru diidentikkan dengan kebaikan karena dominasi lebih condong kepada arah keluhuran, kearifan,dan kebajikan. Tetapi apakah benar pelacur identik dengan keburukan, atau haji/guru identik dengan kebaikan.

Kondisi yang ada dalam masyarakat saat ini adalah seseorang selalu melihat segala sesuatu secara dangkal, termasuk dalam mengartikan atau menafsirkan kata-kata. Pelacur adanya sejak dulu memang buruk, itu yang telah terjadi sejak jaman nenek moyang kita dulu, lantas mengapa diperdebatkan !!. Paradigma seseorang telah terbawa pada kondisi kebiasaan penilaian yang telah diciptakan sejak dulu kala. Kebanyakan orang tidak mau berpikir lebih jauh untuk menelaah dan memaknai sesuatu di luar dari apa yang telah menjadi kebiasaan, yang ada hanyalah melakukan dan menerima kebiasaan-kebiasaan belaka. Saya jadi teringat tentang suatu konsep manajemen inovasi yang pernah menjadi bahan perdebatan ketika menjadi peserta wawancara kerja dengan user, bahwa untuk menjadi seseorang yang inovatif dan kreatif kita harus melakukan sesuatu perbuatan yang disebut "Thinking Out Of The Box". Berpikir di luar kotak bila dimaknakan secara lughowi. Tetapi bila dimaknakan secara harfiah berarti berpikir secara mendalam dan luas di luar dari kebiasaan-kebiasaan yang telah ada, begitulah kira-kira maknanya !!, (atau anda mau menambahkan).

Dalam agama Islam, yang sempat saya pelajari, juga terdapat satu peribahasa yang filosofinya (menurut saya pribadi) memiliki makna yang hampir sama dengan konsep manajemen inovasi tersebut, yaitu " Undzur Maa Qaala, Wa Laa Tandzur Man Qaala". Lihatlah apa yang dikatakan, dan janganlah melihat siapa yang berkata. Bila ditelaah secara mendalam, dapat ditemukan suatu ajaran untuk memandang segala sesuatu bukan hanya dari apa yang tampak, tetapi lebih kepada kualitas yang tertutup dari yang tampak tersebut. Boleh jadi perkataan anak kecil lebih benar, tetapi kita tidak menganggapnya hanya karena keluar dari mulut anak seumur jagung. Boleh jadi pendapat karyawan baru lebih masuk akal, tetapi kita tidak mau menerima atau mengakui hanya karena gengsi lebih besar dari kebijaksanaan. lalu kapan kita akan berkembang, kapan perusahaan yang kita pimpin akan maju, atau ekstrimnya kapan negara ini akan bangkit dari keterpurukan ???

Nah,lalu apa kaitannya semua itu dengan tema tulisan ini mengenai arti kata ?. Sekarang kita kembali lagi, apakah benar kata pelacur identik dengan keburukan ?, atau apakah benar kata haj/guru identik dengan kebaikan ?. Bila mau berpikir di luar kotak dan memandang sesuatu berdasarkan kualitas, maka tidak semuanya benar. Selain dengan pengertian berdasarkan kebiasaan yang telah memenjarakan paradigma masyarakat, kita juga harus mengartikannya berdasarkan subjek yang melekat pada kata-kata tersebut. Seandainya manusia sebagai subjek yang kita lekatkan pada kata-kata tersebut, maka akan muncul pengartian yang berbeda.

Dalam kenyataannya, tidak semua wanita yang menjadi pelacur itu buruk, tidak semua manusia yang menyandang predikat haji itu baik, tidak semua manusia yang berprofesi guru dapat ditiru tindak tanduknya. Apakah kita pernah memikirkan apa penyebab banyak wanita menjadi pelacur ?, Apakah kita pernah tahu kebaikan yang terpendam dalam hati mereka ?, ataukah kita pernah tahu kebaikan-kebaikan yang pernah mereka lakukan ?. Sebaliknya di media massa sering kita dengar dan lihat seorang haji atau seorang guru melakukan tindakan tidak terpuji, memperkosa, mendhalimi orang lain, berjudi, terlibat narkoba, dan sebagainya.

Kondisi yang terjadi, kata pelacur, haji, dan guru identik dengan keburukan atau kebaikan karena sudah tercipta paradigma seperti itu sejak dulu, yang terbentuk berdasarkan sifat-sifat yang diletakkan manusia pada kata-kata itu. Kata pelacur bersifat kontra dengan norma masyarakat dan agama. Kata haji dan guru bersifat pro dengan kearifan, keluhuran, dan kebajikan. bagaimana halnya bila di kemudian hari terjadi sebaliknya, dan ternyata semua wanita pelacur selalu melakukan kebaikan dan menjadi pendukung positif norma masyarakat dan agama. lalu bagaimana halnya bila semua haji dan guru ternyata selalu melakukan perbuatan tercela. Tentunya paradigma akan berputar 180 derajat dengan memberikan titel keburukan kepada kata haji dan guru, serta titel kebaikan kepada kata pelacur. Bukankah arti hanya diberikan karena paradigma yang terbentuk oleh kebiasaan dan kenyataan !!! Saat ini kondisi sudah mengarah kepada paradigma seperti itu, toh sekarang tidak semua orang percaya jika orang dengan predikat haji atau berprofesi guru sudah tentu baik perilakunya !!!. Apakah masih pantas jika pelacur identik dengan keburukan, atau haji dan guru identik dengan kebaikan ????. Nah sekarang terserah Anda bagaimana mengartikan sebuah kata. Semoga tulisan ini menjadi pencerahan……..

Arti Sebuah Harapan

Semua manusia yang hidup di dunia ini memang memiliki harapan. Karena dengan harapan itulah manusia dapat hidup. Harapan juga membuat warna, membuat apa yang ada di dunia ini menjadi dinamis, dan telah membuat perkembangan peradaban manusia sampai pada titik yang kita rasakan sekarang. Harapan telah membuat yang mustahil menjadi mungkin. Adanya harapan untuk mempermudah manusia bepergian telah memunculkan berbagai alat transportasi yang semakin canggih dan cepat. Adanya harapan untuk mempermudah manusia berinteraksi dan berkomunikasi telah memunculkan alat komunikasi yang beraneka ragam.

Berbicara mengenai harapan tentunya akan selalu terkait dengan kekecewaan dan kepuasan. Semuanya itu tergantung pada bagaimana cara manusia memandang atau menyikapinya. Kekecewaan akan didapatkan bilamana manusia telah diperbudak oleh harapan itu sendiri, yaitu ketika manusia memandang bahwa harapan-harapannya harus menjadi kenyataan. Inilah hal yang bersifat destruktif yang merupakan penyebab kehancuran hidup. Tidak heran bila banyak yang bunuh diri karena cinta, menjadi stres karena kerja, dan gila karena harta. Mencintai berharap pasangannya akan setia, ketika ditinggal menjadi frustasi dan bunuh diri. Bekerja keras berharap menjadi sukses, ketika gagal menjadi stres. Berinvestasi berharap mendapatkan uang dan keuntungan yang berlipat ganda, ketika bangkrut menjadi gila.

Lalu bagaimana halnya dengan kepuasan? Kapan hal tersebut akan terwujud?. Kepuasan akan didapatkan bila manusia tidak diperbudak oleh harapan-harapan, tetapi manusia itu sendiri yang memegang kendali atas harapan-harapannya. Semua manusia tidak dilarang untuk berharap, yang terpenting adalah bagaimana manusia menyikapi dan memandang, yang pada intinya bahwa manusia harus mampu mengelola harapan-harapannya tersebut. Tidak dapat dipungkiri bahwa harapan sebenarnya adalah sebuah “energi”. Manusia seharusnya memandang bahwa harapan adalah sumber energi yang dapat memotivasi mereka untuk berbuat lebih dan berbuat yang terbaik tanpa tendensi apapun. Sehingga di kemudian hari akan didapatkan kepuasan pada diri mereka karena menyadari telah melakukan hal besar yang tentunya memiliki manfaat yang besar bagi orang lain atau kehidupan.

Mencintai tetap mencintai, bekerja tetap bekerja, berinvestasi tetap berinvestasi tanpa tendensi apapun juga. Dengan memandang harapan sebagai sumber energi yang memotivasi, manusia akan selalu memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih kepada orang yang dicintainya, bekerja dengan penuh semangat untuk kemajuan perusahaannya, dan berinvestasi dengan penuh keikhlasan untuk kemaslahatan orang banyak. Tentunya hal tersebut dilakukan tanpa tendensi apapun !!!

Semoga bumi ini menjadi lebih baik dan berwarna dengan kekuatan sumber energi harapan-harapan manusia !!!!!!!!!!!!

Kebahagiaan Adalah Hari Ini

Hari lebaran datang lagi untuk kesekian kalinya. Umat Islam bersuka cita menyambut hari yang sakral tersebut. Berbagai macam nama diberikan, ada yang menyebutnya sebagai lebaran, ada yang menyebutnya hari kemenangan, dan ada juga yang menyebutnya sebagai hari Idul Fitri. Berbagai aktifitas juga dilakukan, ada yang sibuk mudik ke kampung halaman, ada yang membuat berbagai macam makanan, ada yang merenovasi dan merias rumah, ada yang membeli sandang baru, dan berbagai aktifitas- aktifitas lainnya. Semua aktifitas tersebut dapat dikatakan merupakan bentuk aktualisasi diri manusia atas kebahagiaan yang dialami. Tapi apakah mereka menyadari kebahagiaan tersebut?, apakah mereka juga memahami makna kebahagiaan tersebut?

Bukan lebaran yang menjadi fokus pada goresan sederhana ini. Tetapi lebih kepada makna kebahagiaan. Kebahagiaan yang mungkin tidak hanya didapatkan pada saat berlebaran, bisa juga pada setiap momen-momen kecil yang pastinya dialami oleh manusia. Kebahagiaan yang sebenarnya telah menghampiri dan telah terjadi. Sekali lagi, apakah mereka sadar makna kebahagiaan tersebut, ataukah mereka sadar bahwasannya pada suatu momen sebenarnya mereka sedang berbahagia?.

Banyak orang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sedang berbahagia. “Hakekat kebahagiaan sebenarnya adalah pada hari ini”, pada saat yang sedang berlangsung atau saat yang kita alami dan rasakan sekarang. Kebahagiaan bukan terletak di masa lalu atau pula di masa yang akan datang. Di masa lalu bukanlah merupakan kebahagiaan, karena kita baru bisa menyadari bahwa hal tersebut merupakan kebahagiaan ketika kita telah kehilangannya. Di masa lalu merupakan kenangan akan kebahagiaan, itupun bila kita menganggapnya sebagai hal yang membahagiakan. Kita akan menyesal bila kita mengenangnya kembali. Mengapa kita tidak bisa menikmati kebahagiaan di masa lalu secara maksimal. “Ketika orang tua kita telah tiada, sekarang baru kita menyadari, alangkah bahagianya dulu kita dapat berlebaran bersama mereka, dan mengapa dulu kita tidak berbuat banyak untuk menikmatinya”.

Di masa yang akan datang juga bukan merupakan kebahagiaan, karena hal tersebut hanyalah cita-cita/impian, yang bila kita tidak dapat mencapainya yang ada hanyalah penyesalan dan kekecewaan. Penyesalan dan kekecewaan yang menunjukkan mengapa kita tidak dapat menikmati setiap detik kebahagiaan yang sebenarnya telah kita miliki saat ini. Manusia sering terjebak dengan hal ini, buru-buru ingin menuju masa depan berharap akan mendapatkan kebahagiaan. Ketika telah mencapai klimaksnya, yang ada hanyalah penyesalan dan penyesalan tak henti. Mengapa dulu aku tidak pernah meluangkan waktu bersama orang tuaku dan berbahagia dengan mereka ?, Mengapa dulu aku melupakan keluargaku ?, Mengapa dulu aku selalu terbelenggu dan sibuk mengejar karirku ?, dan setumpuk penyesalan yang lainnya.

Kebahagiaan adalah hari ini, di saat ini atau sekarang ini. Apa yang kita miliki, alami, dan rasakan sekarang ini sebenarnya adalah kebahagiaan bagi kita. Kebersamaan bersama keluarga, pacar yang kita miliki dan kebersamaan bersamanya, harta yang kita miliki, pendidikan dan pekerjaan yang kita jalani, kesehatan yang kita rasakan, dan sebagainya adalah kebahagiaan bagi kita. Oleh karena itu nikmatilah setiap detik keadaan saat ini, sehingga kita dapat selalu berbuat lebih untuk menghargai kebahagiaan yang sebenarnya telah menghampiri dan terjadi pada diri kita. Dengan demikian, kita akan selalu bersyukur kepada Tuhan atas apa yang telah diberikan kepada kita.

Semoga kita selalu berbahagia tanpa penyesalan dan kekecewaan !!!!

Rabu, 12 Agustus 2009

Sifat Perjanjian Pada Peraturan Perusahaan

Dalam ranah hukum ketenagakerjaan, istilah hubungan industrial bukan hal yang asing lagi. Hubungan industrial itu sendiri memiliki arti suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. terbentuknya hubungan industrial memiliki beberapa tujuan yang diantaranya adalah untuk mewujudkan kenyamanan dan ketenangan kerja serta meningkatkan produktivitas pekerja/buruh maupun perusahaan. Terdapat beberapa strategi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu dengan cara menetapkan beberapa sarana yang digunakan sebagai pendukung hubungan industrial. Salah satu sarana hubungan industrial dimaksud adalah Peraturan Perusahaan, selanjutnya disebut PP. Penegasan hal tersebut dapat ditemui pada pasal 103 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, selanjutnya disebut UUK, yang menyatakan bahwa hubungan industrial salah satunya dilaksanakan melalui sarana PP.

Pengaturan mengenai PP dapat ditemui pada UUK dan Kepmenakertrans RI nomor 48 tahun 2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan PP serta Pembuatan dan Pendaftaran PKB. Menurut peraturan perundang-undangan dimaksud, PP adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut PP, antara lain peraturan kerja perusahaan, peraturan majikan, reglemen perusahaan, peraturan karyawan, atau peraturan kepegawaian, tergantung selera masing-masing perusahaan.

Pembuatan PP merupakan suatu kewajiban bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. Namun kewajiban tersebut menjadi tidak berlaku apabila perusahaan telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Selanjutnya ditegaskan bahwa maksud dari klausul “kewajiban bagi pengusaha” adalah PP disusun dan menjadi tanggung jawab pengusaha. Pengusaha wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah PP maupun perubahannya kepada seluruh pekerja/buruh.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana suatu PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial jika penyusunan dan pembuatannya hanya dilakukan secara sepihak oleh pengusaha ?, bukankah dalam pelaksanaan hubungan industrial harus bisa menjamin keadilan bagi para pihak di dalamnya ?.

Jika melihat proses pembuatan PP jelas akan terjadi ketimpangan ketentuan di dalamnya, di mana penetapan ketentuan merupakan otoritas penuh dari pengusaha. Walaupun dalam penyusunan PP, peraturan perundang-undangan mengisyaratkan agar pengusaha memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan, namun hal tersebut terkesan hanya sebatas formalitas, karena bukanlah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha. Pengusaha, tentunya dapat dengan bebas menentukan aturan-aturan meskipun terdapat pembatasan bahwa ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang jelas, masih terdapat peluang bagi pengusaha untuk dapat menetapkan ketentuan yang tidak seimbang dan merugikan pekerja/buruh.

Dengan ketentuan tersebut, wajar kiranya bila banyak yang memandang dan meragukan PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial. Namun tidak demikian adanya, ada satu alasan yang menjadi dasar mengapa PP dapat menjadi sarana pendukung hubungan industrial, yaitu karena PP memiliki hubungan yang erat dengan perjanjian kerja, hubungan erat yang mana muncul karena adanya sifat perjanjian yang terdapat pada PP[1]. Sifat perjanjian tersebut dapat dilihat pada 2 hal :

1. Saat pengusaha dan pekerja/buruh membentuk perjanjian kerja.

2. Saat PP diubah di tengah masa berlakunya.

Pertama, saat pengusaha dan pekerja/buruh membentuk perjanjian kerja. Sifat perjanjian tersebut timbul apabila sebuah perusahaan menyelenggarakan suatu peraturan perusahaan, menurut undang-undang, pekerja/buruh harus menyetujuinya pada waktu membentuk perjanjian kerja. Banyak yang berpendapat peraturan perusahaan berdiri sendiri, terlepas dari perjanjian kerja. Pendapat tersebut muncul karena peraturan perusahaan disusun oleh pengusaha tanpa adanya campur tangan pekerja/buruh dalam menentukan isinya. Meskipun tanpa adanya campur tangan pekerja/buruh di dalam menentukan isi peraturan perusahaan, tetapi pekerja/buruh tetap dimintai persetujuan mengenai ketentuan peraturan perusahaan pada saat membentuk perjanjian kerja (ketentuan PP biasanya tertuang juga di dalam perjanjian kerja). Apabila pada saat membentuk perjanjian kerja pekerja/buruh tidak menyetujui hak dan kewajiban, syarat-syarat kerja, tata tertib, dan hal lainnya yang tertuang dalam perjanjian kerja dimaksud, sah saja jika pekerja/ buruh menolak perjanjian kerja tersebut. Jika pekerja/buruh tetap menerimanya, padahal diketahui atau patut diketahui terdapat hal-hal yang tidak seimbang dan patut, maka akan berakibat pada hubungan kerja yang tidak harmonis yang selanjutnya berimbas kepada hubungan industrial yang tidak harmonis pula.

Kedua, Sifat perjanjian PP dapat dilihat pada saat PP diubah di tengah masa berlakunya. Sebagaimana yang telah ditentukan bahwa masa berlaku PP paling lama adalah 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui apabila jangka waktu berlakunya telah habis. Namun, apabila terjadi perubahan PP sebelum jangka waktu berlakunya berakhir, hal tersebut hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh. Jika melihat ketentuan tersebut terlihat bahwa syarat kesepakatan/konsesus mutlak diperlukan dalam hal terjadi perubahan PP di tengah jangka waktu berlakunya

Jika diperhatikan, terdapat korelasi antara kedua hal di atas. Pemberlakuan PP atas diri seseorang diberikan pada saat pertama kali orang tersebut menyepakati perjanjian kerja dengan pengusaha, dan setelah PP tersebut diberlakukan, jika pengusaha ingin mengubahnya sebelum berakhirnya jangka waktu, harus juga dengan kesepakatan orang tersebut, karena di awal PP telah diberlakukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa sebenarnya PP memiliki sifat perjanjian, karena pemberlakuan dan perubahannya harus didasarkan pada kesepakatan yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Di mana kesepakatan tersebut merupakan cerminan pemberlakuan asas konsesualisme dalam PP. Syarat kesepakatan para pihak dan asas konsesualisme dapat ditafsirkan pada pasal 1320 ayat (1) dan pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata.

Pasal 1320 ayat (1) :

“Sepakat mereka yang mengikatkan diri”

Pasal 1338 ayat (2) :

“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Idealnya yang harus terjadi adalah demikian, yaitu PP dapat menjadi salah satu sarana pendukung hubungan industrial. Namun realitanya, hal tersebut tidak terjadi. Hal ini dikarenakan kedudukan antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau calon pekerja/buruh tidak seimbang. Banyak orang yang membutuhkan pekerjaan sementara lapangan pekerjaan sangat sedikit. Inilah yang disebut dengan “tidak seimbang”. Dengan ketatnya persaingan, ketika seseorang mendapatkan pekerjaan dan dihadapkan pada perjanjian kerja, mau tidak mau yang bersangkutan harus menyepakatinya, walaupun ketentuan yang tertuang di dalamnya tidak seimbang dan merugikan pekerja/buruh. Hal tersebut juga berarti telah terjadi kesepakatan mengenai ketentuan PP yang kemungkinan besar aturan di dalamnya diciptakan oleh pengusaha untuk lebih memihak kepada dirinya.

Dengan demikian, melalui uraian di atas kita dapat menarik suatu kesimpulan, meskipun pembentukan PP merupakan otoritas pengusaha, namun PP dapat disebut sebagai sarana pendukung hubungan industrial karena PP memiliki sifat perjanjian. Sebagai salah satu sarana pendukung hubungan industrial, PP diharapkan dapat menciptakan hubungan industrial yang harmonis, yaitu jika kedudukan antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau calon pekerja/buruh telah seimbang. Tetapi cita-cita tersebut tidak akan terwujud jikalau semua pihak yang terlibat di dalam hubungan industrial tidak segera menyadari dan mengambil tindakan nyata atas realita ketidakseimbangan kedudukan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau calon pekerja/buruh………..


[1] Van Der Ven, F.J.H.M, Pengantar Hukum Kerdja, Penerbitan Jajasan Kanisius, Jogjakarta, 1969, hal. 26.